"Jadi, dalam kondisi darurat, respons pemerintah semestinya bukan business as usual. Tidak usah bikin kebijakan yang trial and error. Sebab, kebijakan yang jauh lebih efektif seperti social safety net untuk menggerakkan ekonomi saja sudah ada," tuturnya.
Kolega Enny di Indef, Bima Yudhistira, berpandangan sama. Bima mengatakan kartu prakerja saat ini tidak menjawab kebutuhan korban PHK. Musababnya, ketimbang keterampilan, pekerja yang jelas sudah memiliki pengalaman bekerja itu lebih membutuhkan uang tunai dan bantuan-bantuan pangan.
"Kalau kartu prakerja dipaksakan dengan pelatihan, ini artinya sudah gagal ketika lahir. Sayang sekali uang Rp 5,6 triliun untuk pelatihan online," ujarnya.
Bima menilai anggaran pelatihan online dalam skema pemberian kartu prakerja bukan bermanfaat bagi pekerjanya, namun penyedia jasanya. Seandainya kartu prakerja ini dialihkan untuk bantuan tunai kepada pekerja terdampak PHK, ia yakin pemerintah akan merasakan multiplier effect-nya bagi perekonomian.
Direktur Eksekutif Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, juga berpendapat seragam. Meski sebenarnya pemerintah sudah mengubah prinsip pemberian bantuan kartu prakerja yang sebelumnya diprioritaskan untuk pekerja baru menjadi korban PHK, Piter mengatakan penyalurannya masih sangat dipaksakan.
"Mereka tidak butuh pelatihan. Sebaiknya pemerintah menyesuaikan mekanisme penyaluran bantuan kartu prakerja di tengah wabah," ucapnya.
Tak hanya dari ekonom, kritik terhadap penggelontoran kartu prakerja juga disampaikan oleh para politikus. Politikus Partai Demokrat, Rachland Nashidik, misalnya. Ia menilai pelatihan online dalam program Kartu Prakerja yang dicanangkan Presiden Jokowi adalah kebijakan tercela.
"Menurut saya itu kebijakan tercela dan harus segera diperbaiki," ujar Rachland.
Rachland menyebut kebijakan itu tercela bukan hanya lantaran tak tepat sasaran, tapi juga berbau kolusi. Sebab, salah satu aplikator yang ditunjuk untuk menjual materi pelatihan online adalah perusahaan Ruang Guru milik Staf Khusus Presiden, yakni Adamas Bhelva Syah Devara. "Itu jelas korup," kata Rachland.
Dikonfirmasi terkait hal itu, Bhelva mengatakan telah mendengar kritik Rachlan dan mengkonfirmasinya melalui akun Twitter pribadi. Pada intinya, Bhelva mengatakan proses pemilihan penyedia layanan itu dilakukan oleh Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.