TEMPO.CO, Jakarta - Program kartu prakerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dihujani kritik oleh sejumlah pihak lantaran dinilai tak tepat sasaran. Program ini membutuhkan anggaran sebesar Rp 20 triliun, yang Rp 5,6 triliun di antaranya diperuntukkan bagi pelatihan daring.
Skema penyaluran bantuan dalam bentuk pelatihan berbasis daring untuk pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) ini dianggap salah kaprah di masa pandemi virus corona. Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menilai pemerintah gagal paham dalam mengambil kebijakan tersebut.
Musababnya, penganggur yang terkena imbas lesunya industri akibat virus corona bukan lagi pekerja baru yang membutuhkan pelatihan. Namun, mereka adalah pekerja lama yang memerlukan bantuan tunai untuk bertahan hidup dan menjaga konsumsi rumah tangganya.
"Kalau pemerintah ngotot memberikan kartu prakerja, ini berarti pemerintah gagal paham. Karena yang sangat dibutuhkan itu bagaimana saat ini kita bisa menjaga survival masyarakat," ujar Enny kepada Tempo, Kamis, 16 April 2020.
Enny mengatakan, dalam menjaga perekonomian di tengah maraknya PHK, pemerintah semestinya berfokus menjaga konsumsi masyarakat. Sebab, berdasarkan struktur perekonomian Indonesia, kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi domestik.
Sepanjang 2019, misalnya, Badan Pusat Statistik mencatat konsumsi rumah tangga menjadi sumber pertumbuhan tertinggi, yaitu mencapai 2,73 persen. Berkaca dari data itu, Enny menerangkan, salah satu cara menjaga agar konsumsi rumah tangga tak goyah di masa pagebluk adalah dengan memberikan bantuan-bantuan tunai. Artinya, pemerintah seharusnya bukan memberikan bantuan yang sifatnya pelatihan seperti kartu prakerja.
Adapun skema untuk memperbesar bantuan tunai seperti ini sudah diterapkan oleh negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, dan India. Malaysia, contohnya, mengucurkan bantuan langsung tunai senilai US$ 2,2 miliar atau Rp 35 triliun untuk keluarga kelas menengah ke bawah selama enam bulan.
Meski Indonesia juga telah memperbesar jangkauan pemberian BLT kepada masyarakat, menurut Enny, pemerintah bisa menambah anggaran bantuan itu dari dana kartu prakerja. Maksudnya, anggaran senilai Rp 5,6 triliun untuk pelatihan kartu prakerja dengan target 5,6 juta penerima manfaat sebaiknya direalokasikan ke bantuan langsung. Bantuan langsung ini dianggap lebih tepat sasaran dan jelas pemanfaatannya ketimbang kartu prakerja yang sifatnya masih trial and error atau uji coba.