Wakil Kepala Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Herawati Sudoyo mengatakan Indonesia memiliki kemampuan mendeteksi virus Corona. Namun, dia mengakui kemampuan itu memang tak merata dimiliki setiap lembaga penelitian di Tanah Air. "Kita punya kemampuan deteksi. Apakah kemampuan deteksi merata di setiap lembaga penelitian? Jawabannya, tidak," kata Herawati dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Ahad, 1 Maret 2020.
Herawati menuturkan, penelitian mengenai virus Corona tipe tertentu sebenarnya bukan hal baru di Indonesia, melainkan sudah sejak 2015. Indonesia juga memiliki teknologi itu, hanya saja alat itu memerlukan waktu tiga hari untuk mendeteksi.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki teknologi yang dikembangkan di sejumlah negara seperti Hongkong, Jerman, dan Amerika Serikat. Yang terutama dipakai ialah teknologi dari Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat atau United States Centers for Disease Control and Prevention (US CDC).
Namun, penerima sejumlah penghargaan di bidang riset dan sains ini juga memiliki sejumlah catatan. Dia menilai masih ada ego sektoral terkait penanganan penyebaran virus Corona. Menurut Herawati, lembaga penelitian dan universitas belum banyak dilibatkan dalam upaya pendeteksian Corona ini.
Herawati mencontohkan yang terjadi di Cina. Laporan terjadinya virus Corona di sana justru bukan berasal dari Kementerian Kesehatan Cina, melainkan dari rumah sakit yang bekerja sama dengan universitas.
Menurut dia, kolaborasi serupa mestinya dilakukan di Indonesia. Herawati menilai tak masalah jika suatu lembaga penelitian sebelumnya tak memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan deteksi. Pemerintah, kata dia, dapat dengan cepat mengubah status dan tupoksi lembaga itu menjadi lembaga deteksi. "Saya kira kita harus open minded. Coba dilihat, bagaimana supaya yang lain-lain dapat membantu," ujar Herawati.
Saat ini, pendeteksian penyebaran virus Corona dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Kemenkes telah menguji 136 orang terduga terjangkit virus Corona, tetapi semuanya diklaim negatif.
Herawati meyakini pemeriksaan yang dilakukan Kemenkes telah menempuh prosedur yang benar. Namun, dia mengakui tak menutup kemungkinan ada hasil yang negatif palsu (false negative). Herawati juga mengaku tak tahu apakah Kemenkes melakukan pemeriksaan ulang. "Karena ini kan yang melakukan bukan kami ya, ini dilakukan oleh laboratorium Litbangkes.” Ia sendiri tidak tahu bagaimana hal itu dilakukan dan berapa kali pemeriksaan itu dilakukan terhadap terduga kasus.
Selain itu, pendeteksian terhadap orang-orang yang mungkin bersinggungan dengan pembawa virus juga tak dilakukan. Misalnya terhadap orang-orang yang bersinggungan dengan warga negara Jepang yang sempat berlibur ke Bali dan belakangan dinyatakan positif Corona. "Sebenarnya itu sesuatu yang jamak biasa dilakukan, tetapi sekarang kembali lagi kepada misalnya SDM (sumber daya manusia). Berapa banyak orang yang harus kita taruh di situ untuk men-trace kontak-kontak terduga yang kemudian jadi positif," kata Herawati.
Masalah sampel pengujian pun menjadi soal ditemukan atau tidaknya kasus Corona di Indonesia. Dari 270 juta penduduk, Indonesia baru menguji sekitar 136 orang di antaranya. Sedangkan Korea Selatan, Herawati mencontohkan, sudah menguji sekitar 10 ribu orang. Merujuk situs pemantau Corona, Gisandata, ada 3.736 orang positif Corona di Korea Selatan.