Adapun ihwal kuota ekspor, Effendi menjelaskan bahwa kementerian akan melibatkan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan atau Komnas Jiskan. Komnas Jiskan berwewenang menentukan kuota ekspor di tiap-tiap wilayah pengelolaan perikanan atau WPP.
"Jadi Permen baru itu akan menyerahkan kebijakan pada rekomendasi Komnas Jiskan di wilayah mana bibit yang boleh diekspor, berapa jumlahnya, sehingga punya basis ilmiah," katanya.
Effendi mengatakan revisi beleid itu akan difinalisasi pada akhir pekan ini. Setelah dirampungkan, hasil kajian tim bakal diserahkan kepada Edhy untuk disetujui.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja mengatakan kementeriannya pada masa mendatang tidak akan melarang budidaya lobster, melainkan mengatur. Menurut dia, pembukaan budidaya tersebut akan memberikan edit value dan membawa efek multiplier.
Sebab, dengan budidaya, masyarakat yang akan memperoleh hasilnya bukan hanya dari segmen nelayan. Melainkan pengambil penih, penyedia pakan, dan pengumpul bahan pakan.
Namun demikian, dalam perjalanannya, Sjarief menyatakan kementerian akan melakukan evaluasi selama dua tahun sekali. "Setiap 2 tahun sekali ada rekomendasi close-open supaya kita bisa melihat manfaatnya," tuturnya.
Pakar lobster dari Universitas New South Wales, Bayu Priyambodo, berpendapat bahwa pemerintah memiliki pelbagai tantangan seumpama akan membuka budidaya dan ekspor lobster. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa pembudidaya dibekali kemampuan teknis.
Selanjutnya, pembudidaya harus memahami betul penyakit-penyakit yang biasa menyerang lobster. "Soal ekspor puerulus (benur/bibit lobster) juga merupakan tantangan," ujarnya.
Seumpama ekspor benih dilegalkan, pemerintah mesti menjamin nelayan-nelayan kecil harus mendapatkan manfaatnya. Kemudian, pemerintah juga harus bisa menuntaskan persoalan mahalnya biaya logistik dan mampu menghadapi dominasi pasar lobster Vietnam.