Ada sejumlah alasan penolakan yang diajukan kalangan buruh. Mulai dari hilangnya upah minimum, hilangnya jaminan sosial, berkurangnya pesangon PHK, jam kerja yang eksplotatif, hingga ketidakjelasan nasib pekerja kontrak dan outsourcing.
Kemudian ancaman banjir tenaga kerja asing yang tak berkeahlian (unskilled labour), kemudahan PHK oleh perusahaan, upaya penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan, dan aturan yang diskriminatif bagi perempuan seperti cuti haid dan melahirkan hilang.
Poin soal ketenagakerjaan ini tertuang dalam Bab IV draf RUU Cipta Kerja.
Ada tiga beleid terkait ketenagakerjaan yang akan diubah dalam omnibus law ini, yakni UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Sebagai contoh, Pasal 88C draf RUU tersebut berbunyi: Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat (2) dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum sebagaimana disebut di atas merupakan upah minimum provinsi (UMP).
Dengan kata lain, aturan ini memungkinkan skema pengupahan dengan meniadakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan menjadikan UMP sebagai satu-satunya acuan besaran nilai gaji.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah juga mengakui adanya pemotongan besaran pesangon PHK.
Menurut dia, perubahan itu dibuat lantaran aturan pesangon dalam UU Ketenagakerjaan kurang implementatif. Banyak pengusaha tak mampu membayarkan pesangon sesuai aturan tersebut.
"Hitung-hitungan prinsip pemberian pesangon, upah, itu kan (bagaimana) pengusahanya mampu, buruhnya cukup," ujar Ida pada Selasa pekan lalu.