Indonesia, kata dia, juga terus mendorong implementasi sejumlah perjanjian dagang yang telah disepakati Indonesia dengan negara mitra. Untuk itu, pemerintah berharap sektor swasta atau dunia usaha bisa lebih aktif untuk melakukan misi dagang atau trade mission per sektor secara komprehensif dan detail.
Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan (Himki), Abdul Sobur, mengatakan industri furnitur dan kerajinan berpotensi menopang ekspor nasional. Pasalnya, kandungan bahan impor terhadap sektor tersebut relatif kecil. Menurut dia, mayoritas produk jadi mebel dan kerajinan berbasis bahan lokal, seperti kayu, rotan dan bambu, dan sedikit logam dan plastik.
Selain itu, pasar ekspor furnitur dan kerajinan adalah Eropa dan Amerika Serikat (AS). Pasar AS menjadi tujuan utama dengan nilai US$ 700–800 juta per taun. Sobur mengatakan nilai tersebut memiliki porsi yang sangat besar bagi nilai ekspor nasional. “Dampak perang dagang Amerika-Cina dan wabah virus corona membuka peluang besar masuk ke pasar Amerika,” ujar dia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, meski arus ekspor TPT ke Cina terhambat akibat virus corona, pada saat bersamaan hal ini mendorong permintaan domestik yang selama ini diisi produk impor dari Cina. Menurut Redma, sekitar 30 persen dari 60 persen produk Cina di Tanah Air bisa diisi produk dalam negeri.
Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani, pemerintah mau tidak mau harus terus menstimulasi investasi di sektor manufaktur atau industri pengolahan yang berorientasi ekspor. Artinya, penciptaan iklim usaha yang efisien dan produktif menjadi penting. Selain itu, diperlukan adanya efisiensi rantai pasok atau supply chain produksi.
“Termasuk ketentuan dan prosedur supply chain impor dan ekspor harus dibenahi dan disimplifikasi sehingga hambatannya minim dan menjadi lebih efisien untuk memproduksi produk ekspor di Indonesia,” ujar Shinta.