Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, perubahan struktur pegawai KPK menjadi pegawai aparat negara juga bakal berpotensi mengubah pemosisian mereka. Bisa jadi, dengan aturan yang baru KPK akan merekrut pegawai ulang mengikuti model perekrutan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Tak hanya soal pengelolaan SDM, perubahan struktur juga memengaruhi penerapan kode etik. Jika dulu pegawai KPK terikat dengan kode etik pegawai yang diatur KPK, kini mereka terikat dengan kode etik ASN yang berbeda isinya.
"Menurut saya, kode etik KPK lebih ketat.” Kode etik KPK bahkan
sampai melarang awak KPK menggunakan point frequent flyer (poin dari frekuensi penerbangan yang biasanya dapat ditukarkan dengan barang atau jasa) dari perjalanan dinas untuk kepentingan pribadi. “Penegakannya pun menurut saya lebih independen," kata Bivitri.
Pelbagai masalah diperkirakan akan timbul dengan keberadaan Perpres KPK ini. Kewenangan Inspektorat Jenderal dinilai akan tumpang tindih dengan Dewan Pengawas KPK.
Selain itu, pegiat antikorupsi juga mempertanyakan kewenangan Deputi Penindakan yang tertuang dalam draf perpres. Kewenangan itu dinilai bersinggungan dengan tugas Deputi Pencegahan.
Dalam draf itu tertulis, Deputi Penindakan bertugas menyelenggarakan fungsi perumusan kebijakan teknis di bidang pencegahan korupsi meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengajuan upaya hukum, penetapan hakim dan putusan pengadilan, pelaksanaan tindakan hukum lainnya, pelacakan aset, pengelolaan barang bukti, dan pelaksanaan eksekusi barang rampasan.
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Oce Madril menilai rancangan perpres ini ganjil. Musababnya, Undang-undang Nomor 19 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK yang baru sama sekali tidak mengamanatkan penyusunan perpres.
Menurut Oce, Pasal 25 dan 27 UU Nomor 30 Tahun 2002 atau UU KPK lawas justru mengatur soal regulasi tata kerja pimpinan melalui peraturan internal KPK. Jika perpres disahkan tanpa amanat undang-undang, menurut dia, keberlakuannya batal demi hukum.
Oce pun meminta pemerintah menarik draf itu. Sebab, kata dia, presiden bisa berisiko melanggar undang-undang. "Kecuali kalau undang-undang tak mengatur sama sekali soal itu, maka presiden boleh membuat peraturan. Ini tindakan yang ceroboh," kata Oce.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung membantah rancangan perpres itu makin melemahkan KPK. "Tidak ada itikad, niat, atau apa pun dalam pemerintah untuk melemahkan KPK," kata Pramono di Kompleks Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat, 27 Desember 2019.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | AHMAD FAIZ | KORAN TEMPO