TEMPO.CO, Jakarta - India diguncang gelombang unjuk rasa setelah dua kasus perkosaan sangat keji terjadi hampir bersamaan. Masyarakat India marah dan mempertanyakan adakah perubahan di India dalam melindungi perempuan sejak kejadian perkosaan dan pembunuhan pada Desember 2012 di Delhi yang memicu kemarahan publik.
Pada 2 Desember 2019, seorang dokter hewan, 27 tahun, menjadi korban perkosaan berantai oleh empat orang. Jasad korban dibakar di bawah jembatan.
Berselang dua hari kemudian atau pada Kamis, 5 Desember 2019, seorang korban perkosaan dibakar hidup-hidup oleh sekelompok laki-laki yang salah satunya adalah pelaku perkosaan. Tindakan keji ini dilakukan saat korban hendak ke persidangan yang menyidangkan kasusnya. Korban meninggal dua hari kemudian dengan 95 persen luka bakar.
Warga merubung lokasi baku tembak polisi dan empat terduga pelaku perkosaan terhadap seorang dokter hewan. Sumber: The World News Network
Dikutip dari telegraphindia.com, dalam pemilu 2014 lalu Perdana Menteri India Narendra Modi menawarkan keamanan pada perempuan pasca-kejadian perkosaan dan pembunuhan 2012. Modi yang pada 2012 masih menjabat sebagai Kepala Menteri Gujarat, menyadari tingginya angka perkosaan di negaranya, dia bahkan beberapa kali menyebut Delhi sebagai ‘Ibu Kota’ perkosaan.
Modi memegang kekuasaan setelah memenangkan pemilu 2014 dengan suara mayoritas. Namun terpilihnya Modi tidak serta-merta menghentikan kejahatan terhadap perempuan. Beberapa kejahatan dengan perempuan sebagai korban terjadi di negara bagian Uttar Pradesh, sebuah negara bagian yang dikepalai oleh orang pilihan Modi.
Pemerintahan Modi mulai bertindak tegas dalam upaya perlindungan terhadap perempuan ketika terjadi dua kasus perkosaan mendapat sorotan luas. Pertama kasus Asifa, 8 tahun, yang diculik, disekap selama 5 hari dan mengalami perkosaan berantai. Mayatnya lalu dibuang ke hutan dengan luka bekas cekikan. Diantara 8 pelaku adalah aparat kepolisian.
Kasus kedua terjadi pada seorang remaja yang pada tahun lalu menjadi korban perkosaan seorang anggota parlemen partai BRJ, sebuah partai berkuasa di India. Korban mencoba melakukan aksi bakar diri setelah aparat kepolisian menolak memproses secara hukum kasusnya.
Dua kasus perkosaan ini secara tak langsung telah mendorong Kabinet Persatuan India yang dikepalai oleh Perdana Menteri India, Narendra Modi, pada Sabtu, 21 April 2018, meloloskan sebuah perintah eksekutif untuk mengamandemen undang-undang tindak kriminal.
Melalui amandemen itu, maka para pelaku perkosaan terhadap anak-anak di bawah usia 12 tahun akan menghadapi hukuman mati. Sedangkan para pelaku perkosaan remaja di bawah 16 tahun, akan menghadapi ancaman hukuman berat, yakni 10 tahun sampai 20 tahun penjara.
Sayang, aturan hukum ini masih belum menimbulkan efek jera. Kasus perkosaan masih terjadi di India. Situs telegraphindia.com menulis Perdana Menteri Modi bergeming atas dua kasus perkosaan yang korbannya dibakar pelaku.
Juru bicara Kongres dalam beberapa hari terakhir telah berulang kali menyoroti sikap Modi dan Kementerian Dalam Negeri India yang bungkam dan lamban. Kongres juga mempertanyakan sikap anggota politikus perempuan partai BJP yang tidak sekritis rezim sebelumnya. Kongres India juga saat yang sama terkejut dengan sikap apatis masyarakat yang bagaimana bisa masyarakat diam di tengah naiknya ancaman.
“Selama empat bulan kepolisian menolak mendaftar kasus perkosaan FIR di desa Unnao (korban dibakar saat hendak ke persidangan). Ketika FIR melaporkan kasusnya atas perintah pengadilan, pelaku dibebaskan dengan uang jaminan hanya dalam tempo dua bulan. Mengapa polisi tidak mengumpulkan cukup bukti dan menentang pembebasan dengan uang jaminan? Mengapa polisi tidak memberikan perlindungan pada perempuan?,” kata Juru bicara Kongres India, Supriya Srinate.
Pada 2017, data statistik biro catatan kriminal Nasional memperlihatkan terdapat 359.849 insiden kejahatan terhadap perempuan sepanjang tahun itu.
Sedangkan dalam 11 bulan terakhir di 2019, terjadi 86 kasus perkosaan. Data per Januari 2019 memperlihatkan negara bagian Uttar Pradesh sebagai wilayah tertinggi dengan 3.457 kasus perkosaan anak selama 2019. Srinate mengatakan penjahat tidak akan merasa begitu berani tanpa dorongan, tanpa perlindungan dan tanpa kelemahan administrasi.