TEMPO.CO, Jakarta – Sistem teknologi informasi Bank DKI terungkap lemah. Ini diketahui lewat bobolnya dana hingga Rp 50 miliar sejak April hingga Agustus 2019. Sepanjang lima bulan itu, terdata 41 nasabah ‘menikmati’ penarikan dana berulang kali tanpa saldonya berkurang. Sebanyak 41 di antaranya telah diketahui adalah anggota Satpol PP DKI.
Kepala Kantor Regional 1 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dhani Gunawan Idat menyatakan tak menemukan indikasi adanya unsur kesengajaan atau keterlibatan orang dalam dari investigasi yang sudah dijalankan. "Sejauh yang kami ketahui sih ga ada. Jadi ini benar-benar kesalahan sistem saja," ujar Dhani saat dihubungi Tempo, Sabtu, 23 November 2019.
Atas temuan itu, Dhani menekankan kebutuhan mendesak Bank DKI mengaudit sistem teknologi yang dimilikinya. Dia berharap auditor independen dilibatkan untuk memastikan perlindungan ke depan uang di bank milik Pemerintah DKI tersebut. “Dari situ juga akan ketahuan apakah memang tidak ada keterlibatan orang dalam," kata Dhani menambahkan.
Selain audit, OJK segera memerintahkan Bank DKI membenahi sumber daya manusia di bidang teknologi. Gagalnya Bank DKI mendeteksi potensi pembobolan sangat disesalkan. Terlebih dalam kasus yang sedang diselidiki, bank telah dibobol sejak April. “Jangan sampai terulang, dari April kok Agustus baru ketahuan."
Catatan OJK rupanya cukup panjang. Lembaga pengawas ini juga memerintahkan Bank DKI memperkuat rekonsiliasi dengan mitra perbankan lainnya. Menurut OJK, insiden pembobolan baru diketahui setelah beberapa bulan terjadi karena rekonsiliasi yang kurang efektif. "Kami minta perbaiki rekonsiliasi. Jadi tiap ada penarikan dari nasabah, segera dicocokkan datanya," kata Dhani.
Hingga artikel ini disiapkan belum ada konfirmasi ataupun tanggapan dari Bank DKI. Adapun Bank DKI, lewat keterangan tertulis yang pernah dibagikan Sekretaris Perusahaan Herry Djufraini pada 17 November 2019, menyebut pembobolan karena kesalahan pada sistem ATM bank lain yang digunakan oleh pelaku.
Saat itu Herry meminta para nasabah tidak cemas karena dana dijaminnya aman, selain BNK DKI sudah melapor ke polisi. "Sejak awal permasalahan ini, Bank DKI telah melaporkan kepada pihak penegak hukum," ujarnya.
Sementara itu, Corporate Secretary Vice President Artajasa, Zul Irfan, telah lebih dulu mengoreksi kronologis yang selama ini diberitakan bahwa pembobolan dilakukan melalui penggunaan mesin ATM Bersama. Artajasa adalah perusahaan jasa penyedia teknologi switching ATM Bersama yang disebut dimanfaatkan para anggota Satpol PP saat menguras Bank DKI hingga Rp 32 miliar--polisi belakangan sebut hingga Rp 50 miliar.
Zul memastikan pembobolan tidak melalui transaksi yang dilakukan di mesin ATM Bersama. "Sudah kami telusuri bersama Bank DKI dan mereka meminta data juga sudah kami berikan bahwa, setelah di cek, transaksi melalui ATM Bersama (Artajasa) berjalan dengan normal," ujar Zul saat ditemui di kantornya di kawasan BSD, Tangerang Selatan, Jumat 22 November 2019.
Adapun keterangan dari Polda Metro Jaya, penyelidikan baru dilakukan sebatas pemeriksaan terhadap puluhan orang yang diduga menjadi pelaku pembobolan itu. Beberapa yang diperiksa polisi adalah pegawai Bank DKI. Mereka diperiksa dengan status sebagai saksi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga menolak berkomentar banyak terkait bobolnya Bank DKI hingga puluhan miliar rupiah dalam rentang lima bulan. Dia lebih menyoroti tindakan pribadi, dan bukan berkaitan pekerjaan sebagai aparat sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dari para pelaku.
Anies menyatakan telah membebastugaskan seluruh anggota Satpol PP yang terlibat dalam kasus pembobolan Bank DKI tersebut sampai proses hukum oleh Polda Metro Jaya saat ini selesai.