Selain itu, menurut Danang, pemilihan kedua tokoh tersebut dilakukan karena berkaitan dengan integritas mereka dalam hal pemberantasan korupsi. Keduanya dianggap sama-sama berintegritas dan memiliki rekam jejak yang cukup baik mengenai pemberantasan korupsi.
Chandra dikenal sebagai bekas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai wakil ketua KPK Bidang Penindakan serta Bidang Informasi dan Data, Chandra tercatat pernah menindak korupsi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) hingga membuat hubungan kedua lembaga memanas pada 2009.
Sementara itu, kata Danang, Ahok juga dikenal karena berhasil mereformasi dan membersihkan korupsi di birokrasi. Hal ini terjadi saat dia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2014-2017. Meski demikian, sebagian pihak masih sangsi dengan keberadaan Ahok jadi bos BUMN karena pernah terjerat kasus penodaan agama.
Adapun pihak yang menolak salah satunya datang dari tokoh yang berafiliasi dengan gerakan 212. Misalnya, Novel Bamukmin dari Advokat Cinta Tanah Air (ACTA). Selain itu, respons negatif terhadap pengusungan Ahok juga datang dari pekerja Pertamina yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). FSPPB menilai Ahok sebagai sosok yang sering bikin gaduh. Mereka khawatir karakter Ahok yang dia nilai menggebu-gebu ini akan berdampak pada organisasi Pertamina. Mereka juga was-was ke depan hal ini bakal mempengaruhi distribusi energi dan pelayanan BBM kepada masyarakat.
Sedangkan Danang melihat tawaran kepada Ahok dan Chandra untuk masuk BUMN juga berkaitan dengan rencana Kementerian untuk melakukan right sizing birokrasi. Hal ini dilakukan untuk memangkas banyak jembatan sehingga menjadi lebih efisien.
"Dengan mengundang Ahok dan Chandra itu menunjukkan Kementerian berbenah serius mengupayakan perbaikan sehingga kemudian mendapatkan kepercayaan publik, bukan masyarakat atau publik politik tetapi juga pasar," kata Danang.