Lebih jauh, Cellica mengusulkan agar penghapusan Amdal diberlakukan untuk perusahaan yang memiliki luas lahan lebih dari 5 hektare. Tapi sebelum diberi keistimewaan itu, perusahaan harus dipastikan aman dan tidak merusak lingkungan. "Misalnya perusahaan terindikasi membuang limbah harus dicek dulu. Harus tes (sidang) Amdal dulu," katanya.
Cellica berharap, gagasan menghapus Amdal dari syarat investasi dipikirkan secara matang dan mendengar aspirasi dari daerah. "Pada prinsipnya kita patuh dan taat pada (pemerintah) pusat. Tapi mudah-mudahan (pemerintah) pusat bisa mendengarkan aspirasi dari bawah (Pemda). Karena ini berkaitan dengan lingkungan, itu kan penting," tuturnya.
Adapun Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia atau REI Totok Lusida mempertanyakan izin Amdal untuk pembangunan properti di suatu kawasan yang acap kali berulang. Akibatnya, pelaksanaan proyek tidak efektif.
"Sekarang ini kalau kita bangun area dan ruko, sudah kita bikinkan area satu kawasan ruko satu kompleks, setiap ruko dimintai Amdal lagi. Akhirnya konsultan hanya copy paste Amdal,” ujar Totok saat dihubungi.
Ia memberi contoh bahwa hal yang sama terjadi untuk pembangunan mal atau pusat perbelanjaan. Menurut Totok, kendati pihak pengembang sudah mengantongi Amdal untuk pembangunan mal, pemerintah daerah umumnya akan meminta amdal lagi untuk pengadaan stan-stan di dalam kawasan tersebut.
Sementara Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI Joeni Setijo Rahajoe mengingatkan yang terjadi saat ini adalah dengan adanya RDTR tak menjamin pelaksanaan yang benar di lapangan. "Apalagi tanpa itu semuanya (IMB dan Amdal)," kata Joeni.
FAJAR PEBRIANTO | DIAS PRASONGKO | CAESAR AKBAR | FRANCISCA CHRISTY ROSANA | KHORY ALRAFIZI | ANTARA