TEMPO.CO, Jakarta - Palu itu akhirnya diketok juga oleh Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Sri Rahayu. Saat itu, waktu menunjukkan sekitar pukul 23.00 WIB, Rabu 6 November 2019. Artinya, hampir 13 jam lamanya DPR menggelar rapat dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan bersama Kementerian Kesehatan.
Kendati telah digelar selama lebih dari separuh hari, rapat yang berjalan alot dan dipenuhi adu argumentasi itu belum pula membuahkan keputusan. Setengah harian itu, hujan kritik yang dilontarkan anggota Komisi IX terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan tak kunjung berhenti.
Rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang banyak diprotes adalah khusus untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas III, yang akan dinaikkan 100 persen dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per bulan. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sendiri sebenarnya telah resmi diketok, setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi meneken Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada 24 Oktober lalu.
Lantaran tak kunjung mencapai keputusan dewan pun menskors rapat hingga hari ini, Kamis, 17 November 2019 pukul 19.00 WIB. "Tolong data dilengkapi, kalau rinci lebih enak. Karena itu kita lanjutkan rapat besok pukul 19.00 tepat," ujar Sri, kemarin.
Suasana rapat di Komisi IX DPR, kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 5 November 2019. Rapat dihadiri oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, Kepala BKKBN Fasli Jalal, Kepala BPOM Penny K. Lukito, dan Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Tak hanya di dalam gedung DPR, rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga menuai pro-kontra di masyarakat. Sebelumnya, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan Fachmi Idris meyakini, seiring kenaikan nilai iuran peserta, defisit keuangan perusahaannya akan terselesaikan dalam lima tahun.
Sebab, menurut dia, kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan langkah efektif untuk memangkas defisit. Fachmi sangat optimistis bahwa persoalan defisit akan tuntas dengan penyesuaian besaran iuran dan upaya-upaya perbaikan lainnya. "Selesai, dalam 5 tahun ke depan tidak ada defisit lagi," kata Fachmi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat 1 November 2019.
Perpres no 75 tahun 2019 diklaim seketika bakal memperbaiki arus kas BPJS Kesehatan. Sehingga, tagihan rumah sakit rekanan BPJS Kesehatan yang selama ini tertunggak, bisa terbayar lancar. Setelah pembayaran lancar, defisit yang terjadi sejak BPJS Kesehatan berdiri pada 2014 pun akan menghilang.
"Penyesuaian iuran itu, kami ingin memastikan bahwa defisit selesai, cashflowrumah sakit terjamin, sehingga rumah sakit bisa memprediksi, mempersiapkan, dan mengembangkan kapasitasnya," ujar Fachmi.