Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menganggap keberadaan Dewan Pengawas membuat seolah-olah KPK dipimpin oleh 10 orang. Sebab, kewenangan lima Dewan Pengawas memberikan izin penyadapan hingga penyitaan itu masuk dalam teknis proses penyidikan. "Izin melalukan penggeledahan dan penyitaan itu satu rangkaian dengan perintah penyidikan, nah kalau mereka ikut ekspose sama dengan pimpinan, artinya di KPK seolah pimpinannya ada sepuluh," kata Alex.
Keberadaan Dewan Pengawas juga disoroti oleh tim transisi KPK yang bertugas menyisir dampak buruk dari revisi UU KPK. Hasilnya ditemukan ada 26 poin perubahan yang berpotensi melemahkan KPK. Salah satu hal yang dianggap melemahkan KPK yakni keberadaan Dewan Pengawas itu sendiri. Tim transisi menilai Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas.
Pimpinan KPK diharuskan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan. Syarat itu tak ada untuk dewan pengawas. Selain itu, kewenangan dewan juga masuk pada teknis penanganan perkara. Mereka berwenang memberikan izin tertulis untuk penyadapan, penggeledahan, hingga penyitaan meskipun tidak berstatus sebagai penegak hukum. Pertentangan ini rawan dipersoalkan di praperadilan.
Integritas Dewan Pengawas juga hal lain yang disorot tim transisi. Tidak seperti pimpinan KPK, anggota dewan pengawas tidak dilarang untuk bertemu dengan pihak-pihak yang tengah berperkara di KPK. Dewan Pengawas juga tidak dilarang rangkap jabatan, bahkan untuk menjadi komisaris, direksi, atau pengurus yayasan tertentu. Hal ini menurut tim berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menilai kode etik Dewan Pengawas dibuat lemah karena memang dewan ini dibentuk untuk membuka pintu intervensi politik ke KPK. Ia khawatir KPK tak lagi independen karena keberadaan dewan ini. “Ini penjinakan KPK.”
Selain itu, sejumlah pihak juga menilai keberadaan Dewan Pengawas juga membuat rencana operasi tangkap tangan KPK rawan bocor. Belum juga resmi dilantik, Wakil Ketua KPK terpilih Nurul Ghufron telah menyampaikan kekhawatirannya itu. Dia mengatakan keberadaan Dewas akan menyulitkan KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT). “Kemungkinan agak kesulitan melakukan OTT karena penyadapan harus minta izin, sehingga potensi kebocoran sebelum OTT bisa terjadi.”
Direktur Pusat Kajian Konstitusi Feri Amsari mengatakan pemilihan Anggota Dewan Pengawas yang memiliki integritas sebenarnya bisa meminimalisir dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh keberadaan Dewan Pengawas. Namun, ia pesimistis Jokowi bakal melakukan itu. Sebab, menurut dia, Jokowi adalah salah satu pihak yang memotori pelemahan KPK melalui revisi UU. Ia menduga Jokowi akan menempatkan orang-orang yang dapat mengakomodasi agendanya untuk menjadi dewan pengawas. “Saya tidak akan terlalu percaya pada pernyataan dari Istana.”
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawanati menganggap siapapun yang akan dipilih menjadi Dewan Pengawas akibatnya akan sama buruk bagi KPK. Sebab, menurut UU KPK yang baru, posisi Dewan Pengawas lebih berkuasa dari komisioner, sedangkan aturan kode etiknya lebih lemah dan mekanisme pemilihannya dilakukan dengan lebih sederhana.
Ia meminta publik tidak terjebak dengan ‘politik orang baik’ (Presiden Jokowi) yang melihat posisi dalam tata negara sebagai orang. “Ini sistem. Jadi siapapun yang dipilih (sebagai dewan pengawas), dia sudah di bawah cengkeraman Presiden,” kata Asfina.