Di sisi lain, dalam gagasan melanjutkan infrastruktur dan meningkatkan kualitas SDM dan APBN tentu membutuhkan mobilisasi penerimaan pajak.Tugas Dirjen Pajak baru lanjut dia adalah meramu kebijakan pajak diantara dua tujuan besar yaitu pajak yang mendukung daya saing ekonomi dan tetap memobilisasi penerimaan pajak untuk menopang APBN yang berkesinambungan.
“Inilah tantangan terbesar Dirjen Pajak baru. Titik keseimbangan pajak untuk tujuan daya saing ekonomi dan pajak sebagai instrumen utama penerimaan negara yang harus diupayakan,” kata Darussalam.
Tantangan berat di sektor perpajakan juga disampaikan oleh Ekonom Senior Bank Dunia Arvind Jain. Ia menyebutkan dalam laporan Ease of Doing Business (EoDB) 2020 yang dirilis oleh Bank Dunia menyebutkan Indonesia memperoleh nilai 69,6 dari 100 dan menempati peringkat ke-73 dari 190 negara. Peringkat tersebut tidak berubah jika dibandingkan dengan perolehan pada tahun sebelumnya, meski dari perolehan nilai mengalami peningkatan 1,64 poin.
Posisi yang stagnan ini salah satunya karena di sektor membayar pajak (paying taxes), jumlah pembayaran pajak di Indonesia mencapai 26 jenis per tahun. Angka ini lebih banyak dari rata-rata negara kawasan ada 20,6 jenis pajak.
Secara terpisah, Direktur Data Indonesia, Herry Gunawan, mengingatkan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi memiliki tugas berat. Karena pada periode sebelumnya, penerimaan pajaknya menurun dan beban utang yang terus bertambah.
Menurut catatan Bank Indonesia (BI) menyebutkan, utang pemerintah pusat sejak 2014-2018 rata-rata tumbuh sekitar 14 persen per tahun. Hingga Agustus 2019, nilainya sudah mencapai Rp 4.680 triliun dan berpotensi terus bertambah.
Laju pertumbuhan utang itu sayangnya tidak diikuti oleh penerimaan, yang justru realisasinya lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Hingga Agustus 2019, hanya mencapai 55 persen, sementara periode yang sama tahun lalu sudah mencapai 61 persen.