Realisasi penerimaan pajak pun masih jauh dari target. Per akhir Agustus 2019 tercatat penerimaan pajak Rp 801,16 triliun atau 50,78 persen dari target sebesar 1.577,56 triliun hingga akhir tahun. Sementara pada akhir tahun 2018 dan 2017 realisasi target penerimaan pajak bisa mencapai 92,41 persen dan 89,41 persen. Adapun penerimaan pajak di tahun 2014, 2015 dan 2016 masing-masing mencapai 91,56 persen, 81,96 persen dan 81,59 persen.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengatakan ada beberapa cara yang bisa dilakukan otoritas untuk mempersempit risiko shortfall atau penurunan penerimaan pajak. Pertama, mengoptimalkan imbauan atas data perpajakan ke Wajib Pajak.
Kedua, persuasi atau menegosiasikan surat permintaan penjelasan atas data dan keterangan (SP2DK), surat perintah penyidikan (SP2), bukti permulaan dan penyidikan. Tujuannya supaya pajak terutang bisa segera bisa dibayar dengan kompensasi atau reward penghapusan sanksi administrasi."Kalau penyelesaian normal akan memakan waktu. Pendekatan yang baik ke WP akan berdampak positif," kata Prastowo.
Cara ketiga, menurut Prastowo, pemerintah sebenarnya bisa mengamankan penerimaan dari potensi konvensional atau belanja APBN dan APBD termasuk pembagian bonus. Otoritas harus bisa mencari titik keseimbangan antara kepentingan penerimaan dengan kelangsungan perekonomian yang memang sedang dalam kondisi kurang baik.
Prastowo menilai negoisasi menjadi salah satu cara terbaik, hanya saja tetap dilakukan dengan mekanisme yang berlaku. "Kalau ada potensi Rp 2 triliun, wajin pajak sanggup berapa dalam jangka pendek Rp1 triliun. Sisanya dicicil berapa kali. Tinggal bikin tim yang kredibel, kurangi tindakan-tindakan yang kontraproduktif," katanya.
Adapun pakar pajak dari DDTC Darussalam menilai seorang Dirjen Pajak harus bisa menerjemahkan kebijakan pajak visi presiden Jokowi di periode kedua sebagaimana disampaikan pada tanggal 14 Juli 2019 lalu. Dalam pidatonya, presiden menyampaikan 5 gagasan utama yang akan dicapai yaitu melanjutkan pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas SDM, mendorong investasi, reformasi birokrasi, serta APBN yang lebih tepat guna.
“Dari poin mengenai investasi serta reformasi birokrasi, kita dibawa pada upaya mendorong daya saing Indonesia. Daya saing ini tentunya membutuhkan kebijakan pajak yang sifatnya relaksasi melalui berbagai insentif dan penurunan tarif,” kata Darussalam.