TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pegiat hak asasi manusia (HAM) menilai upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia dan di Papua tersandera oleh pandangan yang berbeda dari politik Jakarta. Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mohammad Choirul Anam, mengatakan pandangan itu terkait pengaturan keamanan dan isu separatisme.
“Apakah pernyataan Presiden saat ini akan terwujud, saya tidak yakin, karena pada medio yang sama di periode awal pemerintahannya, Presiden berjanji untuk menyelesaikan kasus Pania, tetapi belum ada hasil sampai saat ini,” kata Choirul, Senin, 29 September 2019.
Choirul melihat pemerintah pemerintah belum menunjukkan niat yang serius dalam menyelesaikan konflik di Papua. Hal itu diperjelas dengan belum adanya upaya signifikan dalam mengurangi kekerasan yang terjadi di Bumi Cendrawasih. “Keseriusan pemerintah dapat dilihat jika ada tim penyidik Jaksa Agung yang mulai bekerja dalam pelanggaran berat HAM,” ujarnya.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan mereka khawatir apabila ada kecenderungan untuk menyamaratakan situasi hak asasi manusia di Papua. Misalnya, kata Usman, seolah-olah sumber utama masalah di Papua adalah separatisme dan semua aspirasi tuntutan referendum sama dengan separatisme bersenjata.
Menurut dia, dua cara pandang tersebut kerap dipakai sebagai dalih untuk menggunakan pendekatan kekerasan dan membenarkan kekerasan serta pelanggaran hak asasi manusia. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud Md, kata Usman, juga turut mengatakan bahwa separatisme lebih buruk dari radikalisme. Usman melihat pernyataan itu hanya akan memperuncing konflik.
Peneliti Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti menilai pendekatan infrastruktur yang kerap dilakukan Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi di Papua tak menjadi solusi penyelesaian konflik. Ia menilai pendekatan ini terlalu parsial untuk menjadi satu-satunya solusi.
"Pembangunan infrastruktur terbukti belum menyelesaikan soal dalam lima tahun terakhir. Sebagai contoh, pada akhir masa pemerintahan Jokowi periode 1 kemarin justru terlihat konflik mengalami eskalasi akibat problem stigma dan diskriminasi," ujar Aisah saat dihubungi Tempo, Senin, 28 Oktober 2019.
Aisah mengatakan konflik yang terjadi pada Agustus hingga September, menandakan pembangunan ekonomi saja tak bisa menyelesaikan isu rasial dan diskriminasi yang terjadi terhadap orang Papua. Jika pendekatan parsial seperti ini berulang di periode kedua, Aisah sangsi problem di Papua akan selesai.
"Pemerintah tidak bisa bekerja secara parsial dengan fokus pada hanya pembangunan ekonomi saja, sementara isu sosial politiknya diabaikan atau ditunda-tunda diselesaikan," kata Aisah.
Sayangnya, Aisah menilai cara ini masih digunakan juga oleh Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan masalah di Papua. Dalam pidato saat pelantikan pada awal Oktober, Jokowi ia nilai masih memperlihatkan orientasinya yang lebih pada aspek pembangunan ekonomi. "Saya kira pemerintah perlu melakukan terobosan untuk melakukan penyelesaian problem di Papua secara holistik," kata Aisah.
Ia menyebut paling tidak ada empat akar masalah Papua yang disampaikan oleh LIPI. Keempatnya itu meliput,: status politik dan sejarah integrasi masuknya Papua ke Indonesia, kegagalan pembangunan, dugaan pelanggaran HAM, dan diskriminasi-stigma.
Seharusnya, Aisah menilai upaya pemerintah yang paling strategis untuk dilakukan adalah menjalankan secara serius komitmen dialog. Langkah ini sempat dilakukan di awal periode pertama Jokowi.
Saat itu, Jokowi menunjuk 3 penanggung jawab, yakni mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, eks Kepala Staf Presiden Teten Masduki, dan Pater Neles Tebay. "Dialog ini akan menjadi jalan penyelesaian konflik di Papua secara bermartabat," kata dia.
Sementara itu, Presiden Jokowi mengatakan masih akan terus memprioritaskan pembangunan infrastruktur di Papua dan Papua Barat selama lima tahun ke depan.
Ketika kunjungannya ke Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, Ahad, 27 Oktober 2019, Jokowi berjanji akan menuntaskan pembangunan infrastruktur dengan memulai membuat akses jalan, diikuti dengan infrastruktur lainnya. "Yang akan saya prioritaskan adalah akses jalan untuk segera diaspal, sementara bandara saya minta waktu dua tahun untuk evaluasi, dan alhamdulillah bisa diselesaikan dalam waktu tersebut,” katanya di hadapan ribuan warga Pegunungan Arfak.