Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan ketidakdisiplinan peserta mandiri JKN untuk membayar iuran menjadi salah satu akar masalah membengkaknya defisit yang mesti ditanggung entitasnya. "Akar masalah kita adalah kolektabilitas (iuran) kurang dari 3 persen dari spending (pengeluaran)," ujar Fachmi.
Usulan Mengerek Premi Asuransi BPJS Kesehatan
Sejak berdiri 6 tahun lalu, BPJS Kesehatan selalu membukukan keuangan yang merah. Pada awal beroperasi, BPJS menanggung gagal bayar mencapai sekitar Rp 3 triliun. Sedangkan pada 2018, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan mencatat BPJS Kesehatan telah mengalami gagal bayar sebesar Rp 9,1 triliun. Tahun ini, defisit tersebut diduga akan membengkak menjadi Rp 32,84 triliun.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, hingga saat ini, peserta mandiri yang rutin membayar iuran BPJS hanya 50 persen. Ia menyebut, separuh dari peserta mandiri biasanya membayar iuran hanya saat sakit. Setelah sembuh, mereka tersebut tak lagi memenuhi kewajibannya.
"Jadi yang buat bleeding (berdarah-darah) itu peserta mandiri. Yang bikin bleeding itu 32 juta orang (jumlah peserta mandiri). Sedangkan yang lainnya tidak buat bleeding," ujarnya.
Ketua Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengapresiasi langkah pemerintah menegakkan aturan untuk peserta mandiri JKN yang tak tertib membayar premi. Sebab, aturan itu dapat membantu menambal tunggakan BPJS Kesehatan yang makin hari makin bertambah.
"Semangat untuk menekankan pada kepatuhan pembayaran iuran adalah baik mengingat tunggakan iuran masih besar," tuturnya.
Namun, ia berpendapat, pemerintah tak perlu lagi merumuskan aturan lantaran telah memiliki perangkat hukum berupa PP Nomor 86 Tahun 2023. Menurut dia, lembaga terkait hanya perlu mempertebal instrumen sanksi dan aplikasi penegakannya di lapangan.