TEMPO.CO, Jakarta - Mesir kembali diguncang gelombang unjuk rasa anti-pemerintah. Unjuk rasa pertama meletup pada Jumat, 20 September 2019, menuntut agar Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengundurkan diri.
Unjuk rasa ini awalnya dipicu oleh video pengakuan Mohamed Ali, pengusaha dan aktor asal Mesir yang sekarang hidup mengasingkan diri di Spanyol. Ali menuding Presiden Sisi melakukan tindak kejahatan korupsi.
Ali pun menyerukan masyarakat Mesir agar turun ke jalan menuntut agar Sisi dicopot dari jabatannya. Presiden Sisi membantah tuduhan korupsi tersebut.
Mohamed Ali, membuka borok pemerintah Mesir melalui media sosial. Sumber: Screengrab/Al Jazeera
Unjuk rasa pada 20 September kemudian terjadi lagi sepekan kemudian. Sekarang, sejumlah orang tua di Mesir mulai melarang anak-anak mereka keluar rumah saban Jumat karena meski anak-anak tidak ikut berunjuk rasa, mereka bisa berisiko ditahan aparat.
Dikutip dari independent.co.uk, pemerintah Mesir serius menindak para pengunjuk rasa. Beberapa demonstran mengaku ponsel mereka disita dan dipaksa menghapus akun media sosial mereka.
Otoritas berwenang Mesir diperkirakan telah menahan lebih dari tiga ribu demonstran sejak unjuk rasa pertama meletup. Mereka yang ditahan diantaranya para pengunjuk rasa, aktivis berpengaruh, wartawan dan politikus. Dalam aksi protesnya mereka melawan Presiden Sisi yang dituding represi, korupsi dan membuat ekonomi Mesir semakin tertatih.
Unjuk rasa pada 20 September 2019 adalah aksi protes pertama di pemerintahan Sisi. Situs nytimes.com pada 4 Oktober 2019 menulis, pada pekan ini pemerintah Mesir akan menarik subsidi bahan-bahan pokok, seperti beras dan pasta. Subsidi itu selama ini untuk membantu sekitar 1,8 juta masyarakat miskin Mesir yang tak mampu membeli bahan pangan karena harga yang tak terjangkau.
"Saya secara pribadi memantau segala prosedur ini. Saya memastikan kepada Anda, pemerintah benar-benar berkomitmen mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk hak-hak masyarakat, khususnya kalangan bawah," kata Presiden Sisi.
Menurut Amy Hawthorne, analis dari Mesir bidang projek demokrasi Timur Tengah, langkah yang dilakukan Presiden Sisi itu dinilai belum cukup. Masyarakat masih memperlihatkan ketidak sukaan terhadap pemerintah.
"Sejumlah langkah kecil yang dibuat oleh pemerintah masih jauh dari upaya memperbaiki situasi," kata Hawthorne.
Hawthorne mengatakan tanpa reformasi yang substantif Presiden Sisi kemungkinan tidak akan mampu menjaga stabilitas. Dia pun berterima kasih pada Ali yang telah menjadi pembocor, dimana Ali menggambarkan tindak korupsi yang dilakukan Presiden Sisi dan kemunafikannya hingga menyulut kemarahan demonstran.
Tindak korupsi bukan hanya menyoroti Presiden Sisi, namun juga lingkaran dalamnya. Sadar posisinya mulai dipepet gelombang unjuk rasa, Presiden Sisi pun memperketat pengamanan.
Pada unjuk rasa, Jumat, 4 Oktober 2019, pasukan keamanan Mesir menutup jantung kota Kairo dan dengan cepat membubarkan demonstran. Di bawah pemerintahan Sisi, unjuk rasa dilarang. Penahanan terhadap lebih dari 3 ribu demonstran pun saat ini menjadi sorotan.
"Mereka yang ditahan sebagian besar bukan pelaku politik aktif, namun dicokok dari pinggir-pinggir jalan," kata Ragia Omran, pengacara HAM.
Mohamed Saeed, pengacara dari Komisi Kebebasan dan HAM Mesir mengatakan mereka yang ditahan dikenai tuntutan telah melakukan unjuk rasa tanpa izin, menyebarkan berita bohong dan bergabung mendanai sebuah organisasi ilegal.
Sulit memproyeksi apakah penahanan ribuan orang ini bisa benar-benar meredakan ketegangan di Mesir. Kelanggengan masa jabatan Presiden Sisi pun masih samar-samar.