Tak hanya mahasiswa, jurnalis pun menjadi korban aparat dalam kejadian itu. Di Jakarta, kekerasan dialami empat jurnalis dari Kompas.com, IDN Times, Katadata dan Metro TV saat meliput aksi demonstrasi 24 September 2019. Mereka diintimidasi karena merekam aksi brutal aparat terhadap massa demonstran. Tak hanya itu, jurnalis dari IDN Times dan Katadata juga disebut mengalami kekerasan fisik berupa pemukulan dan pengeroyokan.
Kamis dini hari kemarin, pasca demonstrasi pelajar yang berujung ricuh, kekerasan terhadap jurnalis berlanjut. Dua wartawan harian Kompas dan satu dari Detikcom diintimidasi polisi karena merekam kebengisan aparat memukuli massa.
“Isi handphone saya diperiksa semua dari isi WhatsApp sampai galeri. Polisi juga menghapus dua video dan beberapa foto,” kata Farih Maulana Sidik, jurnalis detikcom yang menjadi korban.
Intimidasi terhadap pekerja media juga terjadi di Makassar. Aliansi Jurnalis Independen Makassar mencatat ada tiga korban kekerasan oleh polisi, yaitu Muhammad Darwin Fathir dari Antara, Saiful dari Inikata dan Ishak Pasabuan dari Makassartoday.
Aliansi Jurnalis Independen Makassar menilai kekerasan yang berlanjut terhadap jurnalis itu karena lemahnya pemahaman polisi terhadap Undang-Undang Pers yang melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Dia juga menyatakan, selama ini kekerasan terhadap jurnalis kerap disepelekan dan tak ditindak tegas.
“Tidak ada pelaku kekerasan (dari pihak polisi) yang dipidana. Jadi tidak ada efek jera,” kata Koordinator Advokasi AJI Makassar, Sahrul Ramadhan, kepada Tempo.
AJI Jakarta menilai kekerasan terhadap jurnalis muncul karena polisi tak mau aksi brutal mereka terekspose ke publik. Mereka menilai kekerasan terhadap jurnalis kali ini sama polanya seperti saat yang dialami jurnalis ketika meliput kerusuhan aksi 21-22 Mei lalu.
"Yang pasti pola kekerasan yang dialami jurnalis pada beberapa hari terakhir ini sama persis seperti saat aksi 21-22 Mei. Aparat tidak menginginkan jurnalis merekam aksi kebrutalan mereka ke para demonstran," ujar anggota Divisi Advokasi AJI Indonesia, Joni Aswira.