Di Jakarta, mahasiswa Universitas Al-Azhar, Faisal Amir, juga diduga menjadi korban represifitas aparat. Faisal ditemukan tergeletak di area sekitar Gedung DPR RI pada Selasa 24 September 2019.
Faisal adalah koordinator aksi mahasiswa dari Universitas Al-Azhar. Rekan-rekannya menyebutkan dia maju ke depan saat massa aksi dipukul mundur oleh polisi di sekitar Stasiun Palmerah. Faisal berniat menyelamatkan rekan-rekannya yang lain yang masih terjebak di depan.
Naas, dia kemudian menghilang dan ditemukan sudah terkapar dengan luka cukup parah di bagian kepalanya. Faisal dibawa ke Rumah Sakit Pelni dan harus menjalani operasi pengangkatan tengkorak karena terjadi pendarahan di area otaknya. Dia pun kini sudah sadar. Hanya saja sedikit mengalami hilang ingatan.
"Dia sudah bisa menyebut papah dan mamahnya. Tapi waktu saya tanya apa yang dia alami kemarin, dia bilang lupa," kata Ratu Agung, ibunda Faisal kepada Tempo Kamis kemarin.
Kepala Kepolisan Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian menyebut adanya korban tewas pada demonstrasi di ibu kota. Namun Tito menyebutkan korban tersebut bukan bagian dari demonstran, tetapi perusuh.
"Informasinya sementara ini yang bersangkutan meninggal dunia. Bukan pelajar dan mahasiswa, tapi kelompok perusuh itu," kata Tito dalam konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam, Kamis kemarin.
Tito tak membuka identitas korban tewas tersebut. Hanya saja, dia membantah korban tewas tersebut akibat kekerasan polisi. Menurut dia, korban tewas karena sesak napas setelah menghirup terlalu banyak gas air mata.
“Tak ada satupun luka tembak atau penganiayaan, karena saya juga sudah sampaikan untuk tidak gunakan senjata tajam sehingga (korban tewas) itu diduga kekurangan oksigen atau gangguan fisiknya," kata Tito.
Pihak Rumah Sakit Polri Kramat Jati yang disebut menjadi tempat otopsi korban pun tutup mulut. Saat Tempo mencoba mengkonfirmasi, tak ada satu pun petugas yang mau berbicara soal identitas korban meninggal yang diucapkan Tito.
Korban juga berjatuhan di Makassar, Medan dan sejumlah kota lainnya. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menuding hal itu merupakan bentuk arogansi polisi. Mereka juga menganggap polisi telah melanggar HAM terhadap mahasiswa.
“Saat ditangkap, massa mendapat penganiayaan, baik dari yang berseragam atau yang berpakaian sipil. Kami memandang polisi arogan, ini pelanggaran HAM," kata Koordinator Badan Pekerja KontraS Sumut Amin Multazam Lubis, Kamis, 26 September 2019.