Menurut Ikhsan, masih sedikit sekali pelaku UMKM yang telah mensertifikasi produknya. Sebab, selama ini sertifikasi halal hanyalah pilihan atau nilai tambah bagi suatu produk. Selain itu, biaya dari sertifikasi dinilai cukup berat bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Saat ini, dari 62 juta produk UMKM, hampir separuhnya adalah makanan dan minuman.
"Kami tahunya sertifikasi per produk, misal rumah makan padang itu kan menunya harus disertifikasi semua, berapa biayanya, selama ini kurang transparan. Ini bisa membebani dan berdampak kepada UMKM," ujar Ikhsan. Karena itu, ia mengusulkan adanya keringanan berupa sertifikasi gratis bagi pelaku UMKM, serta penundaan pemberlakuan untuk sosialisasi.
Dalam lain kesempatan, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat menilai rantai pasok dari produk makanan dan minuman olahan juga bakal terimbas kebijakan wajib halal tersebut. Kendati, ia mendapat bocoran aturan pemerintah itu bakal benar-benar berlaku efektif lima tahun lagi, pada 2024.
Ia menanyakan kesiapan pemerintah. Sebabnya, dalam waktu yang tersisa tiga pekan lagi, ada 1,6 juta pelaku usaha makanan dan minuman yang belum mengantongi sertifikat halal. "Terbayang betapa panjang antreannya dan betapa luas cakupannya. Karena ini barang dan jasa, artinya juga warung rumah makan, kantin, hingga katering, ini akan pengaruhi suplai chain makanan dan minuman olahan," ujar Rachmat.
Apalagi apabila melihat rekam jejak Majelis Ulama Indonesia yang dalam 30 tahun terakhir baru menyertifikasi 11 ribu pelaku usaha lintas sektoral dengan dibantu oleh hanya 1.500 auditor halal. Sehingga, dengan adanya jutaan pelaku makanan dan minuman, ia membayangkan perlunya ada tambahan auditor untuk mendukung kebijakan itu.
Infografik Skema Sertifikasi Halal
Belum lagi, Rachmat menuturkan untuk mendapat sertifikat halal itu tidak mudah. Sebab, makanan dan minuman harus bisa dipastikan keamanannya alias toyyiban atau food safety. Artinya makanan minuman tidak boleh beracun maupun berbahaya. "Keamanan pangan di Indonesia ini PR-nya besar sekali," ujar Rachmat.
Jadi, kata dia, sangat mungkin ketika pelaku makanan dan minuman mengajukan sertifikasi halal namun tidak langsung lolos, lantaran harus melakukan perbaikan. Dengan jutaan pelaku itu, ia meyakini proses sertifikasi akan semakin kompleks.
Soal kesiapan, anggota Ombudsman Ahmad Suaedy punya catatan khusus. Ia menilai pemerintah belum siap betul untuk melaksanakan kebijakan jaminan produk halal tersebut. Misalnya saja Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang baru ada di Jakarta. Padahal, mereka diperlukan hingga ke tingkat wilayah. "Katanya sedang dipersiapkan," ujar dia.