Seusai membentuk konsorsium, masih pada bulan yang sama, pemerintah Indonesia menerbitkan beleid penyokongnya. Pada 2018, Cina mengucurkan duit pinjaman US$ 810,4 juta yang akan dipakai untuk merampungkan proyek. Pinjaman itu rencananya digelontorkan dalam tiga tahap.
Setahun setelah Indonesia meneken kesepakatan dengan Cina, pada Mei 2016, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bertemu dengan Presiden Jokowi di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G-7. Jepang kembali mengutarakan niatnya terlibat dalam pembangunan proyek kereta semi-cepat Jakarta-Surabaya. Apalagi, Jepang sudah tersalip Cina, setelah pemerintah Indonesia mencanangkan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dengan menggandeng negeri tirai bambu.
Setahun kemudian, pada November 2017, Jokowi dan Shinzo Abe kembali bertemu pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Manila, Filipina. Keduanya kembali membahas kelanjutan proyek kereta semi cepat lintas Jawa.
Lewat rembugan kedua pemimpin negara itu, Jepang pun menawarkan kereta dengan kecepatan 120 kilometer per jam. Namun, Indonesia menolak. Pemerintah menginginkan kereta semi cepat memiliki kecepatan 160 kilometer per jam. Ditambah embel-embel, biaya keseluruhan maksimal dipatok Rp 120 triliun—yang belakangan dilorotkan menjadi Rp 60 triliun saja.
Bulan Desember di tahun yang sama, Kementerian Perhubungan bersama Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi atau BPPT mengebut proyek prastudi kelayakan. Studi ini kemudian dibahas bersama JICA. Enam bulan kemudian, proyek ini sudah tercatat dalam proyek strategis nasional.
Setahun berselang, setelah diketok sebagai proyek strategis nasional, Indonesia dan Jepang akhirnya meneken nota kesepahaman awal sebagai bentuk kesepakatan teknis, Selasa malam. Lembar kerja sama yang ditandatangani kedua negara itu menjadi landasan studi persiapan bagi JICA sebelum masuk ke fase desain dan konstruksi—meski sebelumnya JICA telah menggelar pre-studi kelayakan sejak Juni 2019.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Kementerian Perhubungan Danto Restyawan mengatakan, JICA memiliki waktu sampai Mei 2020 untuk melakukan studi persiapan. “Sesuai jadwal pelaksanaan preparatory survey, JICA akan menyampaikan hasil kajian sementara berupa internal record,” ujarnya. Pemerintah nantinya akan memperoleh gambaran untuk memutuskan kelanjutan proyek itu.
Berdasarkan lembar nota kesepahaman tersebut, kedua pihak menyepakati delapan persyaratan teknis yang melandasi pembangunan kereta semi cepat. Beberapa di antaranya menyatakan kereta semi cepat akan dibangun menggunakan rel sempit selebar 1.067 milimeter. Pengoperasian kereta juga menggunakan single track dan tidak berbasis elektrifikasi. Kemudian, kereta memiliki kecepatan operasi maksimum 160 kilometer per jam. Selanjutnya, kereta akan digerakkan dengan mesin diesel atau DEMU.