Fickar menjelaskan korelasinya, jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP, maka akan menurunkan statusnya tidak lagi sebagai tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime, melainkan menjadi tindak pidana umum. Demikian juga Revisi UU PAS yang mencabut PP 99/2012, maka narapidana tindak pidana korupsi diperlakukan seperti narapidana tindak pidana biasa.
"Jadi itu korelasinya, KUHP sebagai induk atau payung dari hukum atau UU Pidana pasti akan menjadi rujukan UU atau aturan lain yang bersifat pidana," kata Fickar saat dihubungi Tempo pada Ahad, 22 September 2019.
Direktur Pusat Studi Konstitusi atau Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, menunda pengesahan RKUHP tidak berarti kealpaan Jokowi menyetujui revisi UU KPK termaafkan. "Cabut UU KPK dengan menerbitkan Perppu. Tidak ada kata terlambat jika niatnya memperbaiki legislasi yang dikoruptif," ujar Feri saat dihubungi Tempo pada Jumat malam, 20 September 2019.
Dalam sebulan belakangan, gelombang protes bergejolak karena DPR dan Pemerintah sepakat mengesahkan Revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga antirasuah. Setelah itu, RKUHP pun dikebut pengesahannya hingga akhir periode, 30 September 2019. Sementara protes kencang, proses menuju pengesahan tetap berlanjut.
Setelah semakin kencang kritik media hingga mahasiswa turun ke jalan, Jumat lalu, Presiden Jokowi tiba-tiba meminta DPR RI menunda pengesahan RKUHP. Padahal, Jokowi mengutus Menkumham Yasonna Laoly membahas RKUHP bersama DPR dan telah menghasilkan keputusan; membawa RKUHP ke pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna untuk segera disahkan.
"Setelah mendengar masukan-masukan saya berkesimpulan masih ada meteri yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Agar disampaikan ke DPR, pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahan tidak dilakukan oleh DPR periode ini," kata Jokowi saat jumpa pers pada Jumat, 20 September 2019.
Sejumlah anggota Komisi Hukum DPR mencak-mencak menyebut Jokowi tidak menghargai waktu dan biaya yang telah dikeluarkan untuk membahas RKHUP tersebut. "Jokowi tidak mengerti aturan. DPR tidak dihargai. Kami sudah RDPU kemana-mana, enggak ada angin enggak ada hujan tiba-tiba dicabut. Kami keberatan," ujar Anggota Panitia Kerja (Panja) dari Fraksi PAN, Muslim Ayub saat dihubungi Tempo, kemarin.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut Jokowi terlambat mengambil keputusan, karena rapat bamus sudah digelar dan jadwal paripurna sudah ditetapkan pada Selasa, 24 September 2019. "Paripurna sudah terjadwal, sudah terlambat," ujar Fahri Hamzah lewat pesan singkat kepada Tempo pada Jumat malam, 20 September 2019.
Sementara itu, mayoritas partai pendukung Jokowi-Ma'ruf menyatakan manut saja akan perintah Jokowi.
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani menyatakan mengatakan DPR dan pemerintah sama-sama pembentuk UU dan mereka tak bisa memaksakan posisi yang diambil satu sama lain. "Tentu fraksi yang koalisinya masuk ke pemerintahan akan mendukung yang disampaikan Presiden," kata Arsul, Jumat lalu.