Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan salah satu penyebab buruknya asap di Provinsi Riau, disebabkan oleh kondisi angin yang bertiup dari selatan provinsi tersebut.
"Kenapa asapnya banyak? Karena juga angin itu di selatan Riau bertiup lebih kencang tapi melambat di zona atas Riau," ujar Dwikorita di Graha BNPB, Jakarta Timur, Sabtu, 14 September 2019.
Upaya menekan asap dan polutan coba dilakukan lewat langkah teknologi modifikasi cuaca (TMC) berupa pembuatan hujan buatan. Namun langkah ini juga diakui sulit karena tak minimnya awan hujan, yang dibutuhkan menjadi pemicu awal hujan buatan.
"Upaya yang dilakukan BNPB sejak Juli untuk membuat hujan buatan itu tidak mudah untuk berhasil. Karena bibit awan yang akan disemai itu hampir tidak ada," Dwikorita.
Meski begitu, BMKG menemukan sedikit harapan, dengan mulai terlihatnya awan hujan di tujuh daerah, yakni Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Papua. Karena itu, Dwikorita meminta agar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), agar selalu siap jika ada awan hujan muncul.
"Setiap menit kita pantau kapan awan muncul, kami minta Pak Doni (Kepala BNPB) untuk segera bertindak di lapangan menembak awan itu dengan garam supaya menyemaikan untuk awan hujan,” ujar Dwikorita.
Selain berharap dari modifikasi cuaca, BNPB juga berharap banyak dari penanganan karhutla lewat jalur udara dan darat. Meski di tingkat nasional koordinasi antara lembaga sudah padu, Doni Monardo mengatakan eksekusi penanggulangan karhutla di tingkat lapangan nyatanya masih tak optimal.
Dari laporan TNI-Polri di lapangan, Doni mengatakan masih banyak kepala daerah yang terkesan tak peduli dengan kebakaran ini. Bahkan ketidakpedulian ini ditunjukan dengan tak pernah hadir dalam rapat koordinasi penanganan karhutla ini.
"Kita ada beberapa keluhan dari unsur TNI-Polri di lapangan, karena adanya kurang peduli dari pejabat daerah. Saya tak menyinggung pejabat siapa, tapi rata-rata pejabat atau pemimpin tingkat Kabupaten Kota," kata Doni.
Padahal, Doni mengatakan 99 persen penyebab kebakaran adalah manusia. Sedangkan 80 persen dari lahan yang bekas terbakar ini, kemudian jadi kebun untuk dimanfaatkan. Hal ini menunjukan adanya upaya sengaja dari sejumlah pihak untuk membakar hutan.
Karena itu, kesadaran kepala daerah terhadap bencana ini sangat penting. Masyarakat harus terus diingatkan, bahwa upaya pembukaan lahan dengan cara membakar, tak bisa lagi digunakan. Bahkan jika perlu, Doni siap menampung warga yang biasa dibayar untuk membakar hutan, untuk membuka lahan.
"Kami (akan) pekerjakan sebagai bagian dari satgas pemadaman api. Kita bayar, lebih baik kita membayar rakyat, dari pada rakyat dibayar orang lain untuk membakar," kata Doni.
Gerak terbatas dalam pemadaman dan pencegahan Karhutla ini seakan bertolak belakang dengan permintaan Presiden Joko Widodo. Pada Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan atau Karhutla di Istana Negara, Selasa 6 Agustus 2019 lalu, Jokowi pernah mengancam akan mencopot Kapolda dan Pangdam yang tak bisa mengatasi kebakaran hutan dan lahan.