Dari catatan KPPI, ada 123 nomor harmonized system (HS-daftar golongan barang) yang nilai impornya tinggi. “Lebih dari 10 persen dalam tiga tahun terakhir,” ujar Mardjoko pada Tempo. Ia juga menuturkan pihaknya masih menunggu sejumlah kelengkapan persyaratan untuk menindaklanjuti permohonan tersebut sesuai dengan agreement on safeguard dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Jika pelaku industri bisa menunjukkan penurunan pangsa pasar, kapasitas produksi, laba atau kenaikan angka kerugian, hingga pengurangan tenaga kerja, pemerintah bisa langsung mengeluarkan rekomendasi pengenaan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) paling lama selama 200 hari atau sekitar enam bulan. “Apabila setelah pengamanan tersebut diterapkan masih tetap kelihatan kerugian, maka pemerintah akan kenakan BMTP yang permanen selama tiga tahun ke depan,” ujar Mardjoko.
Usulan pembuatan safeguard ini sebelumnya telah diusulkan sejumlah asosiasi, di antaranya Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Usulan tersebut dilayangkan lantaran kondisi industri TPT dari hulu ke hilir tengah mengalami kontraksi yang mengkhawatirkan di mana telah terjadi PHK puluhan ribu tenaga kerja.
Kasubdit Humas Bea Cukai Deni Surjantoro menuturkan kajian terhadap kebijakan safeguard juga akan dilakukan pada tingkat antarkementerian dan antarlembaga. Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum pemerintah mengeluarkan keputusan tersebut ialah tren importasi komoditas secara umum, utamanya yang berasal dari Cina.
Sementara itu, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Center for Public Policy, M. Rifki Fadilah, menduga kolapsnya sejumlah pabrik tekstil tak hanya karena kalah bersaing dengan produk impor. Ia meminta kasus tutupnya sembilan perusahaan tekstil ini harus dilihat secara lebih mendalam.
Sebab, dari ribuan perusahaan tekstil hanya sembilan yang gulung tikar. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan bukan terletak pada impor semata. Berdasarkan data, pertumbuhan industri manufaktur mikro dan kecil saat ini terus membaik.
Data menunjukkan laju pertumbuhan industri selama triwulan IV 2018 naik sebesar 8,73 persen serta peningkatan ekspor sebesar 5,55 persen. Saat ini pemerintah juga tengah menjadikan industri tekstil sebagai industri strategis dan prioritas nasional.
Oleh karena itu, Rifki meminta pelaku industri tekstil untuk lebih bersikap hati-hati dan mengedepankan efisiensi. Apalagi sejak 2005, industri tekstil telah masuk sebagai salah satu industri yang sudah diliberalisasi.
Karena itu, tidak heran jika industri tekstil dan produk tekstil mengalami kompetisi yang semakin ketat. “Persaingan sudah dibuka lebar kepada pemain dalam maupun luar negeri. Sekarang tinggal bagaimana pengusaha untuk memanfaatkan pasar dengan cara berproduksi se-efisien mungkin supaya bisa mendapat pangsa pasar yang besar,” kata Rifki.
ANTARA | BISNIS | LARISSA HUDA | DIAS PRASONGKO | CAESAR AKBAR