TEMPO.CO, Jakarta - Pertempuran antara parlemen Inggris dan Perdana Menteri Boris Johnson mengancam Inggris menuju Brexit tanpa kesepakatan.
Sebagai pendukung Brexit garis keras, Boris Johnson dengan segala upaya menginginkan Inggris tetap bercerai dari Uni Eropa, entah dengan kesepakatan atau tanpa kesepakatan yang dikenal Brexit No Deal. Oposisinya di parlemen House of Commons sebaliknya, berupaya mencegah Inggris ke dalam jurang kekacauan karena Brexit tanpa kesepakatan sama saja membuat Inggris kehilangan regulasi dan kontrak bisnis, yang sebelumnya dinaungi peraturan Uni Eropa.
Pada 4 September kemarin, Reuters melaporkan temuan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang meriset kerugian Inggris jika keluar Uni Eropa tanpa kesepakatan.
"Penelitian UNCTAD menunjukkan bahwa Brexit tanpa kesepakatan akan mengakibatkan kerugian ekspor Inggris setidaknya US$ 16 miliar (Rp 227 triliun), yang mewakili perkiraan hilangnya 7% keseluruhan ekspor Inggris ke UE," kata laporan UNCTAD
Kerugian itu akan mencakup US$ 5 miliar (Rp 71 triliun) dalam ekspor kendaraan bermotor, US$ 2 miliar (Rp 28,4 triliun) dalam produk-produk hewan dan US$ 2 miliar (Rp 28,4 triliun) lainnya dalam pakaian dan tekstil.
Dan untuk kedua kalinya, pada Senin malam, PM Johnson telah mengajukan jajak pendapat untuk pemilu dini dan ditolak parlemen Inggris, CNN melaporkan.
Jeremy Corbyn, pemimpin Partai Buruh, berbicara tentang Brexit di Wakefield, Inggris, 10 Januari 2019. [REUTERS / Phil Noble]
Johnson mengatakan pemilu dini adalah cara untuk mengakhiri kebuntuan Brexit dengan mengembalikan mayoritas parlemen yang mendukungnya.
Langkah Johnson mengalami kekalahan berat di House of Commons, dengan partai-partai oposisi menunjukkan persatuan menentangnya sekali lagi. Johnson gagal memperoleh mayoritas dua pertiga untuk lolos.
Pemimpin oposisi Partai Buruh Jeremy Corbyn memimpin upaya untuk memblokir permintaan Johnson sampai setelah Brexit ditunda.
Kekalahan terakhir Johnson datang pada mosi yang dibawa oleh Jeremy Corbyn, yang menegaskan kembali kewajiban menteri pemerintah untuk menegakkan aturan hukum.
Menurut laporan New York Times, Corbyn memperkenalkan mosi tersebut sehubungan dengan laporan dalam beberapa hari terakhir, bahwa Johnson berencana untuk melanggar undang-undang yang menghalangi Brexit tanpa kesepakatan dengan menolak meminta Brussels untuk menunda tenggat waktu 31 Oktober. Corbyn menyebutnya sebagai "serangan terhadap supremasi hukum."
Para menteri kemudian membantah bahwa perdana menteri akan melanggar hukum, tetapi masih menyarankan pemerintah mencari celah untuk menghindari Johnson harus meminta perpanjangan waktu pada Brussels.
Johnson mengumumkan niatnya untuk memprioritaskan Parlemen pada akhir Agustus. Langkah ini akan berlaku pada penutupan hari Senin, dan Parlemen tidak akan dibuka lagi sampai 14 Oktober.
Jadi Johnson hanya memberikan beberapa hari waktu bagi anggota parlemen untuk duduk mendebat proposal Brexit.
Perdana Menteri mengatakan penangguhan itu diperlukan untuk memberi jalan bagi Pidato Ratu baru, tradisi di mana sesi baru Parlemen dimulai. Biasanya, Pidato Ratu berlangsung setiap tahun, dan lazimnya Parlemen selalu diprioritaskan sebelum dibuka kembali oleh kerajaan.
Kontroversi penundaan parlemen