TEMPO.CO, Jakarta - Rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau revisi UU KPK mendapat penolakan dari banyak kalangan. Tak cuma dari pegiat antikorupsi, belakangan ratusan guru besar dan dosen lintas universitas serta organisasi masyarakat berbasis agama ikut buka suara menolak revisi tersebut.
Sebanyak 37 guru besar lintas kampus menyatakan revisi beleid itu harus batal demi hukum. Guru besar yang di antaranya adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan mantan Komisioner KPK Haryono Umar menganggap revisi itu bakal melemahkan kewenangan KPK dan merusak keorganisasian di KPK.
“Melihat ancaman kepada KPK yang terstruktur, sistematis dan masif maka kami guru besar Indonesia menolak upaya revisi UU KPK,” dikutip dari keterangan tertulis, 7 September 2019.
Para guru besar juga menganggap rencana revisi UU tersebut cacat prosedur karena tidak mengikuti UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa penyusunan RUU harus dilakukan berdasarkan Program Legislatif Nasional. Sementara revisi UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas atau RUU prioritas.
Suara penolakan juga datang dari 107 pengajar dari Universitas Islam Indonesia. Ratusan dosen UII menganggap pembahasan RUU KPK tidak transparan dan tidak melibatkan publik. Selain itu, isi revisi dinilai juga melemahkan KPK. Kami dosen UII menentang setiap upaya pelemahan KPK.”
Dari Surabaya, Jawa Timur, 36 akademisi Universitas Airlangga menganggap revisi UU KPK menunjukkan kemunduran upaya pemberantasan korupsi. Pengajar Fakultas Hukum Unair, Iqbal Felisiano mengatakan pelemahan upaya pemberantasan korupsi dilakukan secara sistematis.
Tak hanya lewat revisi UU KPK, tapi juga lewat RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan pemilihan calon pimpinan KPK yang bermasalah, serta kegagalan pengungkapan terhadap kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Iqbal mengatakan pemerintah dan DPR harusnya tidak mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan segelintir kelompok. Wakil rakyat, kata dia, seharusnya menjadi representasi memperjuangkan kemaslahatan publik. “Pemimpin yang berpikir dan bekerja sungguh-sungguh untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara,” ujar Iqbal dalam keterangan tertulis, 8 September 2019.