Kewenangan memberikan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3), kata Feri, juga akan berakibat buruk untuk komisi antirasuah. Pemberian kewenangan bakal mempermudah intervensi terhadap penanganan kasus di KPK. “Kalau ada SP3, akan ada langkah politik yang bisa ditempuh untuk mendapatkan surat itu.”
Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK, Rasamala Aritonang sudah bisa memprediksi nasib buruk yang menimpa lembaganya bila revisi ini disetujui. Dia mengatakan tidak akan ada lagi operasi tangkap tangan. Menurut dia, tugas KPK cuma akan jadi mirip agen penyuluhan. “Sekedar pencegahan seperti sosialisasi di sana-sini,” kata dia.
Kalau sudah begitu, kata dia, pelaku korupsi akan bisa bergerak lebih leluasa untuk merampok uang negara tanpa ditindak tegas. Efeknya buruknya, kata Rasamala, bukan cuma kepada penindakan korupsi itu sendiri. Melainkan juga akan menghilangkan demokrasi dan merapuhkan perekonomian. “Dari lahir sampai mati, semua masalah kita berakar dari korupsi, dan itu enggak akan pernah selesai kalau revisi ini diberlakukan.”
Pembahasan revisi UU KPK disahkan DPR dalam rapat paripurna, Kamis, 5 Februari 2019. Berlangsung secara kilat, rapat itu dihadiri 70 dari 560 anggota dewan periode 2014-2019. Semua fraksi menyetujui usul amandemen UU KPK dan bila mulus RUU itu bakal disahkan pada September ini.
Proses pengusulan revisi UU KPK berlangsung kurang dari sepekan, tapi rancangannya sudah disiapkan dari jauh hari. Revisi UU KPK juga tidak masuk dalam 55 RUU prioritas Program Legislasi Nasional 2019. Namun Badan Legislasi menggarapnya dengan antusias.
Proses ini, menurut Pusako, melanggar syarat-syarat formil proses legislasi. Peneliti Pusako, Heni Lavour Febrinandez dalam keterangan tertulis, Sabtu 7 September 2019. “Ada kekeliruan jika DPR tiba-tiba mendahulukan revisi UU KPK ketimbang mendahulukan membahas UU prolegnas prioritas.”
Heni memaparkan pelanggaran yang dilakukan DPR karena Pasal 45 ayat (1) UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa pembahasan RUU harus berdasarkan program legislasi nasional (prolegnas). "RUU KPK tidak termasuk dalam prolegnas tahun 2019.” Sehingga telah terjadi pelanggaran formil dalam pembahasan perubahan kedua UU KPK.
Jika ngotot draf RUU tetap diproses di luar prolegnas, ada syarat yang harus dipenuhi oleh presiden dan DPR. Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 mensyaratkan dua hal, yakni: mengatasi keadaan luar biasa, konflik, atau bencana alam, dan; keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atau RUU yang dapat disetujui bersama oleh kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. "Pembahasan tentang revisi UU KPK oleh DPR tidak memenuhi unsur yang diatur dalam pasal itu."
Kalangan DPR ngotot. Salah satu pengusul revisi UU KPK, anggota Komisi Hukum DPR Masinton Pasaribu mengatakan usul ini juga sudah ada sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mengatakan perubahan UU KPK diperlukan untuk mengikuti perkembangan reformasi hukum yang mengedepankan hak asasi manusia. Sehingga, sejumlah poin perubahan yang diusulkan mengenai pengawasan KPK.
Misalnya saja, kata dia, soal kewenangan memberikan SP3. Menurut dia, dengan adanya SP3 di KPK maka azas kepastian hukum dapat terpenuhi. Selain itu, Masinton mengatakan keberadaan Dewan Pengawas dan izin penyadapan juga diperlukan agar KPK tak bisa sewenang-wenang menguping pembicaraan orang. “Penyadapan itu melanggar privasi manusia.” Sehingga, penyadapan harus diatur UU atau pengadilan.