Catatan merah untuk dua perwira polri ini tak cuma itu. Menurut catatan KPK untuk pansel, Antam dan Firli disebut memiliki catatan tidak bagus soal kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Menurut dokumen itu, Firli tak pernah menyetorkan LHKPN sejak 2002 hingga 2016. Sementara Antam tercatat tiga kali tidak melaporkan LHKPN ke KPK. Antam dan Firli menampik bahwa mereka tidak patuh LHKPN.
Selain Antam dan Firli, ada lima kandidat yang namanya juga ditandai merah oleh KPK. Widyaiswara Madya Sekolah Pimpinan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Bambang Sri Herwanto masuk karena empat kali tidak menyerahkan LHKPN. Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Johanis Tanak turut masuk karena dua kali tidak menyerahkan LHKPN.
Setelah itu, ada mantan jaksa, M. Jasman Pandjaitan yang sebelas kali tidak menyetor LHKPN. Disusul rekan sejawatnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Sugeng Purnomo. Pada tahun 2000, Sugeng diduga terkait penggelapan kayu gelondongan terhadap lima kapal asing. “Maaf pak, saat kasus itu terjadi KPK belum lahir, saya pastikan,” kata Sugeng ketika mengikuti uji publik Kamis, 29 Agustus 2019.
Terakhir ada pengajar di Universitas Jember, Nurul Ghufron. Dalam catatan KPK, Ghufron diduga menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi dan jarang melaporkan LHKPN. Dalam uji publik, ia menampik tudingan itu. “Saya punya mobil pribadi.”
Ketua Panitia Seleksi, Yenti Ganarsih mengatakan pihaknya memang menerima catatan dari KPK dengan kandidat yang ditandai merah dan hitam. Ia mengatakan pansel telah mempertimbangkan catatan dari KPK dan dari lembaga lainnya ketika menyeleksi capim. “Semua masukan dan catatan yang mereka sampaikan sudah kami pertimbangkan, kenapa kami disalahkan terus, ya?” kata Yenti.