Meski telah berlangsung selama dua pekan, pemerintah seakan belum menemukan formula tepat untuk meredam amarah masyarakat Papua. Mereka justru membatasi koneksi internet di tanah Papua dengan alasan untuk menghentikan hoaks, yang dianggap sebagai pemantik kerusuhan.
Tak hanya memblokir internet, pemerintah juga mengirim pasukan pengamanan tambahan ke Papua. Setidaknya 2.500 pasukan gabungan dari TNI-Polri dikirim. Itu pun hanya ke Jayapura saja, yang memang menjadi lokasi kerusuhan terakhir.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto mengatakan dalam rapat itu, Jokowi meminta agar pihak keamanan memilih pendekatan yang lebih persuasif, ketimbang bertindak represif. "Beliau minta agar masayakat dilindungi. Masyarakat yang tidak bersalah, tidak tahu masalah, jangan sampai jadi korban aksi-aki demo anarkis," kata Wiranto.
Meski begitu, langkah-langkah pemerintah ini dinilai tak cukup untuk menuntaskan masalah di tanah Papua. Apalagi, dalam aksi protes itu, isu yang dibawa justru semakin berkembang menjadi referendum, tak lagi menyoal rasisme dan aksi diskriminatif.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan pemerintah saat ini seakan hanya fokus pada kerusuhan di tanah Papua saja. Padahal, Usman mengatakan, yang terjadi di Papua hanya sebatas asap dari api yang berasal dari insiden di Surabaya dan Malang.
"(Insiden Surabaya dan Malang) Itu adalah akar masalahnya. Itu lambat ditangani. Padahal kejahatan itu terjadi di hadapan aparat hukum. Ada paradigma hukum yang ngaco. Masih ada kekakuan pandangan politik di dalam tubuh aparat negara yang seharusnya independen," kata Usman saat dihubungi Tempo, Ahad, 1 September 2019.