TEMPO.CO, Jakarta - Wacana hukuman kebiri kembali mencuat kepermukaan. Sebabnya, Pengadilan Tinggi Jawa Timur menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mojokerto untuk menghukum M. Aris, pelaku pemerkosaan sembilan anak di sana.
Pengadilan tingkat pertama dan kedua itu menghukum Aris dengan 12 tahun penjara, denda Rp 100 juta, dan hukuman pemberatan kebiri kimia. “Padahal hukuman pemberatan tersebut tidak ada dalam tuntutan jaksa," kata Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, kepada Tempo, Ahad, 25 Agustus 2019.
Aris yang berasal dari Desa Sooko bekerja sebagai tukang las. Hasil penyelidikan polisi atas laporan warga, sejak tahun 2015 hingga 2018, ia membujuk, memaksa, dan memerkosa sembilan anak. Ia ditangkap 26 Oktober 2018 setelah aksi terakhirnya terekam kamera pemantau CCTV di salah satu perumahan.
Saat ini, Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto sedang mencari rumah sakit yang bersedia mengebiri Aris.
“Eksekusi kebiri kimia sedang dilakukan perencanaannya. Saat ini kami belum menemukan rumah sakit yang bersedia kebiri kimia,” kata Kepala Seksi Intelijen dan juru bicara Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto Nugroho Wisnu, Sabtu, 24 Agustus 2019.
Jaksa Nugroho mengatakan rumah sakit pemerintah seperti RSUD dr Soekandar dan RSUD R.A. Basuni yang ada di Kabupaten Mojokerto belum ada yang bersedia dan belum pernah memandulkan seseorang. Hukuman tambahan berupa kebiri kimia pada pelaku pemerkosa anak ini pertama kali di Mojokerto. “Di Mojokerto baru kali ini, kalau di Indonesia bukan ranah kami untuk menjawab,” kata Nugroho.
Masalahnya, Ikatan Dokter Indonesia atau IDI tetap pada sikap awalnya tak bersedia mengeksekusi hukuman kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi mengatakan, eksekusi kebiri kimia bertentangan dengan sumpah, etika, dan disiplin kedokteran yang berlaku internasional. "Sikap IDI tetap sama, bukan menolak hukumannya tapi IDI menolak sebagai eksekutornya, karena melanggar sumpah dan etika kedokteran," kata Adib kepada Tempo, Ahad, 25 Agustus 2019.
Sikap menolak kebiri kimia ini sudah disampaikan IDI sejak 2016, yakni pada saat pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu inilah yang mengatur ihwal pemberian kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Beleid mengenai pemandulan ini ada di Pasal 81 ayat 7 yang berbunyi "Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik."
Kemudian, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang, yang berkaitan dengan pemberatan hukuman dan hukuman tambahan, seperti kebiri pada Oktober 2016.
Adib menjelaskan, disiplin dan etika kedokteran ini melekat pada profesi dokter di mana saja. Dokter-dokter yang tak bergabung dengan IDI juga terikat dengan etika ini, begitu pula dokter kepolisian dan militer. "Profesi dokter itu melekat di mana saja . Sumpah dan etika kedokteran itu jiwanya profesi dokter," kata spesialis ortopedi dan trauma ini.
Keberatan IDI didasari lantaran pemandulan tersebut bukan termasuk pelayanan kesehatan, melainkan bentuk hukuman. Karena sifatnya yang hukuman, maka ada eksekutor yang menjalankannya.
Adib mengaku belum tahu siapa yang akan mengeksekusi hukuman kebiri tersebut. "Tahun 2016 pernah ada pembahasan harmonisasi dalam Peraturan Pemerintah, tapi saya tidak tahu kelanjutannya," ucapnya.