Pada malam yang sama, tak jauh dari lokasi Fadil ditangkap, Rian, 14 tahun, diseret dari belakang Gedung Bawaslu. Dia juga mengaku menerima kekerasan dari aparat. “Saya nangis dan minta ampun tapi tetap digebuki,” ujarnya, “Kepala saya diinjak sudah kayak orang mau matikan rokok.”
Dalam pemeriksaan, polisi disebutnya beberapa kali menggetok ponsel ke kepalanya. Selain itu, polisi juga mengeluarkan kabel tanpa aliran listrik dan menyundutkan ke kakinya. “Awalnya saya gak ngaku (ikut kerusuhan). Pas kabel itu dicolokkan ke aliran listrik baru saya mengaku. Saya takut,” katanya berkisah.
Anggota Lembaga Bantuan Hukum Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Paham), Gita Aulia, membenarkan adanya penganiayaan yang dilakukan polisi dalam penanganan kerusuhan 22 Mei lalu. Paham turut mengadvokasi lima anak yang menjadi tersangka dan menjalani rehabilitasi di Balai Handayani, termasuk Fadil dan Rian.
Kelima anak itu kini telah mendapatkan diversi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak Senin, 5 Agustus lalu. Sedang untuk kekerasan yang terjadi, Gita mengatakan, "Kami sudah laporkan ke Propam, KPAI, hingga Komnas HAM dan kami punya buktinya."
Ketua Komisi Nasional HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan penganiayaan yang dilakukan anggota Brimob saat kerusuhan telah disampaikan langsung ke Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Moechgiyarto. Menurut Taufan, Polri telah mengakui adanya kekerasan itu.
Polisi, kata Taufan, berdalih emosi setelah massa menyerang mereka. Markas Brimob di Petamburan yang dihuni keluarga mereka juga diserang. "Secara sosial bisa dipahami (polisi emosi). Tapi tetap tidak bisa dibenarkan tindakan mereka melakukan kekerasan," kata Taufan.