TEMPO.CO, Jakarta - Kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019 menjadi sorotan menjelang masa akhir jabatannya. Pada 26 Agustus nanti, mereka akan digantikan oleh 106 anggota dewan periode 2019-2024 yang terdiri dari 47 orang inkumben dan 59 wajah baru.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan tak ada hal yang luar biasa yang dilakukan anggota DPRD masa bakti 2014-2019. Sedikitnya jumlah peraturan daerah atau perda yang disahkan, kata Lucius, menjadi catatan buruk kinerja anggota dewan periode ini.
Sejatinya, ada 117 rancangan perda (raperda) serta perubahan perda yang harus dibahas. Namun, sepanjang periode 2014-2019 baru 29 perda yang disahkan. “Itu pun kebanyakan perda yang sifatnya rutin dan wajib seperti Perda APBD, Perda Turunan dari Undang-Undang, dan penyertaan modal Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),” kata Lucius lewat pesan pendek kepada Tempo, Kamis, 15 Agustus 2019.
Adapun raperda yang tak kunjung disahkan misalnya raperda tentang kenyamanan fasilitas publik untuk perempuan, sistem kesehatan daerah, sistem pendidikan, kawasan tanpa rokok, pajak parkir, pengelolaan barang daerah, intoleransi, zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pajak parkir.
Angka tersebut Tempo dapat dari kombinasi data yang diberikan oleh Dewan Pimpinan Wilayah Partai Solidaritas Indonesia Jakarta dan Bidang Perundang-Undangan Biro Hukum Pemerintah Provinsi Jakarta. Sejak tahun 2015, setidaknya ada 21 dari 29 perda yang sudah disahkan mengatur perihal normatif seperti retribusi, perpajakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta BUMD.
Sisanya adalah perda soal kepemudaan, keolahragaan, pariwisata, pelestarian kebudayaan betawi, penyelenggaraan perpustakaan, kearsipan daerah, perpasaran, dan perindustrian. Dengan data itu, Lucius menganggap DPRD tak dapat banyak menghasilkan perda prioritas berdasarkan rencana pembangunan DKI.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, bersalaman dengan anggota DPRD saat menghadiri Rapat Paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, 20 November 2017. TEMPO/Subekti.
Lucius menyebut berbagai persoalan seperti masalah sampah, polusi udara, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pulau reklamasi, kemacetan, dan polusi udara tak mendapat perhatian anggota dewan. Ia juga merasa tanggung jawab moral anggota DPRD untuk menghadirkan regulasi terebut kepada konstituennya sangat rendah. “Bisa dikatakan DPRD gagal menjawab tuntutan politik legislasi dengan menyediakan payung hukum atas persoalan serius yang dihadapi warga DKI,” ujar dia.
Terkait kinerja DPRD, Lucius Karus juga mengkritisi fungsi pengawasan anggota dewan periode 2014-2019 terhadap eksekutif. Ia mencontohkan beberapa kali penggunaan hak angket hanya menyebabkan kegaduhan tanpa hasil yang jelas.
Lucius menyebut anggota dewan tak merespon dengan serius kebijakan Pemda DKI yang mengundang pro kontra seperti mengeluarkan izin di pulau reklamasi. “(Kerja pansus) tak jelas ujungnya. Hanya melahirkan kegaduhan sesaat saja,” kata dia.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbakhul Hasan, menilai tak ada perda inovatif yang diinisiasi oleh anggota DPRD periode 2014-2019. Menurut Hasan, DPRD seharusnya secara inisiatif menghasilkan perda yang menyangkut hajat hidup masyarakat Jakarta.
Ia memberi contoh soal Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang pengelolaan sampah di DKI yang seharusnya direvisi. Hasan mengatakan kalau volume sampah di Ibu Kota saat ini semakin besar namun tak terkelola dengan baik.
Lewat perda tersebut, kata Hasan, Pemda DKI hanya mengandalkan pembuangan sampah ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, yang kapasitasnya terbatas. “Perlu terobosan dan inovasi. Langkah awal adalah dengan revisi kebijakannya,” ujarnya.
Senada dengan Lucius dan Hasan, calon legislatif terpilih dari Partai Solidaritas Indonesia, Idris Ahmad, mengkritisi soal pembahasan raperda oleh DPRD DKI yang tak transparan dan kurang serius. Menurut Idris, materi beserta pembahasan raperda harusnya ditampilkan secara terbuka dalam situs resmi milik DPRD DKI Jakarta.
Termasuk, kata Idris, soal sudah sejauh mana raperda tersebut dibahas bersama eksekutif. “Entah kenapa informasi terebut tak tersedia untuk publik. Tiba-tiba kabar yang keluar adalah perda yang sudah final dan diputuskan. Masyarakat tak pernah tau proses dibaliknya,” ujarnya di kantor Dewan Pimpinan Pusat PSI, Jakarta Pusat, 8 Agustus 2019.
Suasana lengang rapat Panitia Khusus (Pansus) Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta membahas Rancangan Tatib Pemilihan di Ruang Rapat Badan Musyawarah DPRD DKI, Jakarta Pusat, pada Selasa, 9 Juli 2019. TEMPO/Lani Diana
Sementara itu, Sekretaris Daerah DKI Saefullah berharap anggota dewan periode selanjutnya bisa meningkatkan kecepatan dalam pembahasan perda. Menurut dia, kecepatan diperlukan dalam rangka mendukung program eksekutif dalam membangun Jakarta. Meski begitu, secara umum Saefullah mengapresiasi kinerja DPRD periode 2014-2019.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPRD DKI Abdurrahman Suhaimi mengakui perda yang disahkan oleh anggoda dewan periode 2014-2019 jauh dari target yang direncanakan. Ia mengatakan harus ada perbaikan dalam hal perencanaan pada masa jabatan periode selanjutnya. “Itu harus dievaluasi dari sisi perencanaannya. Rencana dengan yang terealisasi masih sangat jauh,” ujar pria yang kembali terpilih sebagai anggota DPRD periode 2019-2024 itu.
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di DPRD, Gembong Warsono, juga sepakat kalau perda yang dihasilkan anggota dewan semasa jabatannya sedikit. Meski begitu, Gembong menuding kurangnya kesiapan pihak eksekutif dalam mengajukan raperda atau perubahan perda inisiatif menjadi permasalahan utama.
Gembong menjelaskan Satuan Kerja Perangkat Daerah DKI seringkali mengusulkan, baik raperda maupun perubahan perda, tanpa disertai naskah akademik. Hal itu, kata dia, yang terjadi pada usulan-usulan SKPD yang diajukan dalam rapat pimpinan dan sudah disepakati masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda), namun tak kunjung dibahas bersama oleh legislatif dan eksekutif.
Meski tak dapat merinci, Gembong bahkan menyebut banyak naskah akademik raperda maupun perubahannya yang belum diserahkan oleh SKPD yang mengusulkan ke DPRD. “Itu yang menghambat produktivitas kinerja dewan berkaitan dengan perda-perda yang dihasilkan dalam periode tahun berjalan,” kata dia.
Pria yang kembali terpilih sebagai anggota DPRD itu mengatakan fraksi partainya telah membuat evaluasi soal usulan perubahan atau rancangan perda. Menurut Gembong, pada periode selanjutnya, usul inisiatif yang diajukan oleh eksekutif tak akan diterima untuk dibahas di Prolegda jika belum disertai naskah akademis.
Ia tak ingin kejadian serupa terulang pada masa jabatan anggota DPRD periode 2019-2024. “Ketika produktivitas rendah kan bukan eksekutif yang disalahkan. Pasti dewan gitu, lho. Periode depan kami akan lebih rigid,” kata Gembong.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra, Muhamad Taufik, mengatakan kinerja dewan tak bisa dinilai semata dari banyaknya perda yang disahkan. Menurut dia, pembahasan juga melibatkan Pemda DKI lantaran usul perda datang lebih banyak dari eksekutif ketimbang legislatif.
Sama seperti Gembong, Taufik juga mempersoalkan belum adanya naskah akademik untuk beberapa raperda yang diusulkan Pemda. “Kalau barangnya tidak datang-datang, apa yang mau dibahas? Eksekutif kan banyak yang gak kirim (naskah akademik). Mungkin belum sempat,” kata dia ketika ditemui di gedung DPRD, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat, 16 Agustus 2019.
Tempo sudah mencoba mengkonfirmasi kritisi kinerja terkait perda itu ke Ketua DPRD Prasetio Edi Marsudi. Namun, politikus PDIP itu tak terlihat hadir di Rapat Paripurna DPRD padaJumat, 16 Agustus 2019. Petugas yang berjaga di ruang kerjanya pun mengatakan Pras tengah tidak berada di ruangan.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memilih tutup mulut soal tudingan ketidaksiapan eksekutif dalam mengusulkan raperda kepada DPRD DKI yang dikatakan Gembong. “No comment. Saya tidak mau komentar,” ujarnya. Ia juga tak menjawab saat Tempo tanyai soal evaluasi kinerja anggota DPRD DKI yang sebentar lagi habis masa jabatannya.
Saefullah enggan mengomentari soal tudingan dari anggota DPRD yang mengatakan kalau seretnya pembahasan raperda dikarenakan eksekutif tak siap dengan naskah akademik saat mengusulkannya. “Jangan diadu-adu begitu. Harapannya ke depan pembahasannya lebih cepat,” kata dia.