Tak cuma mengajak koalisi Joko Widodo-Ma'ruf Amin, PDIP juga merangkul Gerindra untuk membicarakan agenda amandemen ini. Pengurus PDIP dan Gerindra mengatakan hal tersebut juga dibahas dalam pertemuan Megawati dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada 24 Juli lalu.
Menurut mereka, Megawati dan Prabowo membicarakan pentingnya amandemen konstitusi. Isu yang dibicarakan bagaimana mencegah membesarnya gerakan Islam kanan dan radikalisme yang ingin mengubah dasar negara.
"Pertemuan itu membahas masa depan Indonesia agar tak ada penumpang gelap yang menggunakan cara-cara radikalisme," kata Wakil Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga PDIP Eriko Sotarduga ketika dikonfirmasi.
Partai Gerindra memang tak menolak amandemen UUD 1945. Namun Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mengatakan amandemen itu mestinya dilakukan dengan mengembalikan UUD 1945 ke versi asli terlebih dulu. "Kembalikan dulu pada UUD 1945 yang asli, kemudian rekonstruksi. Kalau kita berani melakukan itu sebagai sebuah overhaul (pemeriksaan seksama) ya," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 8 Agustus 2019.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Philips Jusario Vermonte mengatakan agenda amandemen konstitusi berpotensi menjadi bola liar, termasuk mengembalikan kewenangan MPR memilih presiden. Sebab, MPR hingga saat ini belum membuka kepada publik apa saja yang akan diamandemen. "Pasti potensinya bisa ke mana-mana," kata Philips di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2019.
Feri Amsari pun mengimbuhkan, sebagai partai yang dikerdilkan semasa Orde Baru, PDIP seharusnya menjadi pelopor yang menolak peluang amandemen yang menjadi pintu masuk kembalinya MPR sebagai lembaga tertinggi negara. "Semestinya PDIP memperjuangkan semangat reformasi itu dengan menolak kembalinya MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menjadikan kedaulatan tetap ada di tangan rakyat," kata Feri.