Abdul menceritakan sudah berada di Jakarta sejak November 2018. Pria berkulit gelap itu datang ke Indonesia untuk mencari perlindungan karena di negara asalnya perang sedang berkecamuk dan membuatnya dapat terbunuh kapan saja.
Abdul masuk ke Indonesia melalui jalur ilegal Malaysia - Medan dengan disusupkan agen gelap menggunakan kapal nelayan. Saat tiba di Jakarta 9 bulan silam, Abdul sama sekali tak memiliki uang sehingga terpaksa hidup menggelandang di pinggir jalan dan berpindah-pindah.
Pria berusia 17 tahun itu menjelaskan beberapa trotoar yang pernah ia cicipi untuk tinggal antara lain trotoar Jalan Jaksa, trotoar Kebon Sirih, hingga trotoar Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Kalideres. Selama hidup berpindah-pindah itu, Abdul bercerita ada saja masyarakat yang memberinya makanan, pakaian, hingga uang.
Sejumlah pengungsi pencari suaka memeriksa kesehatan anak dan dirinya di gedung Eks Kodim Kalideres, Jakarta, Senin, 15 Juli 2019. Hingga hari ini, para pengungsi terus bertambah hingga 1.300an orang. TEMPO/Muhammad Hidayat
Lalu ketika direlokasi Pemprov DKI ke Lapangan Bekas Kodim, Jakarta Barat, pada 11 Juli 2019, Abdul mengaku senang.
Pasalnya, di penampungan yang berada di dalam Kompleks Daan Mogot Baru itu tersedia makanan dua kali sehari, air bersih, hingga bangunan untuk para pengungsi tidur.
"Kalau tidak boleh lagi di sini, mungkin saya akan kembali lagi ke trotoar dan berharap bantuan dari masyarakat," ujar Abdul.
Berbeda dengan Abdul yang sudah menjadi yatim piatu, beberapa nasib pengungsi lain masih terbilang cukup baik karena mendapat kiriman uang dari keluarga di negara asalnya.
Contohnya Ali Nazari, pencari suaka asal Afganistan itu mendapat kiriman uang rutin dan membuatnya bisa mengontrak rumah di kawasan Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
"Alhamdulillah orang tua saya di Afganistan rutin mengirim uang," katanya.
Adapun alasan Ali terdampar di penampungan Kalideres, sebab pada satu bulan yang lalu ia mendapatkan kabar UNHCR sudah mendapat keputusan soal status suakanya. "Tapi ternyata hanya didata ulang kemudian diminta menunggu lagi, sementara uang sudah habis," kata dia.
Melihat nasib para pencari suaka yang sangat bergantung pada bantuan karena tidak bisa bekerja di sektor formal, membuat UNHCR mencari cara agar para pengungsi setidaknya dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.