Faktor kedua yaitu masalah pengadaan lahan yang mencapai 15,2 persen. Masalah ini terjadi lantaran pelaksanaan perizinan lokasi di daerah masih tumpang tindih mengingat daerah belum seluruhnya memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Lalu faktor ketiga yaitu masalah kebijakan yang mencapai 7,3 persen. Masalah ini muncul ketika daerah menerbitkan perizinan yang tidak sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria dari Kementerian/Lembaga.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengamini masalah-masalah ini. Menurut dia, masih banyak perizinan di daerah yang tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. Dampaknya, batas waktu penyelesaian izin atau Service Level Agreement atau SLA di daerah menjadi lebih lama.
Susiwijono juga membenarkan bahwa pemenuhan komitmen izin di daerah masih bersifat offline sehingga pelaku usaha memerlukan waktu penyelesaian yang lebih lama. Untuk itu, Ia menegaskan solusi untuk mengatasi masalah-masalah ini adalah dengan perbaikan dan pengembangan sistem Online Single Submission (OSS) yang ada di BKPM. “Agar penyelesaian izin dapat sepenuhnya dilakukan secara online,” ujarnya.
Ihwal pengadaan lahan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah meminta Kementerian Agraria mendorong pemerintah daerah untuk menyiapkan RDTR. Khususnya daerah yang memiliki potensi ekonomi, RDTR harus dipakai sebagai acuan.
Kepala Bagian Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang Horison Mocodompois mengatakan, PP Nomor 24 Tahun 2018 ini sebenarnya mewajibkan seluruh Pemerintah Daerah atau Pemda menerbitkan RDTR untuk mendukung pelayanan OSS. RDTR wajib diterbitkan pada 21 Desember 2019, atau enam bulan sejak PP terbit pada 21 Juni 2018.
Lima bulan berselang, baru 13 Peraturan Daerah RDTR/RTRW yang terbit dari target 2000 RDTR. “Dari catatan kami, cukup banyak Pemda (Pemerintah Daerah) yang belum memilikinya,” kata Horison. Padahal, kata dia, pembangunan di daerah harus berdasarkan RDTR ini.
Ia mencontohkan, ketika satu investor ingin membangun di suatu daerah, tentu ia harus tahu detail penggunaan lahan di daerah itu. Sebab, bisa saja lokasi yang ingin dibangun bukan untuk pembangunan, atau malah daerah rawan bencana. “Masalahnya, RDTR ini yang menyusun Pemda, Kementerian Agraria hanya memberikan standarisasi, pelaksanaan tetap di Pemda,” kata dia.
Dengan segenap kendala yang masih menghadang ini, akankah investasi berhasil menjadi panglima pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional?
CAESAR AKBAR | HENDARTYO HANGGI | FRANCISCA CHRISTY ROSANA