mendorong barang-barang seperti barang-barang perjalanan, dompet, hingga produk besi dan baja. Sedangkan untuk ekspor ke Cina, Indonesia bisa mendorong beberapa produk seperti gas alam hingga biodiesel.
Namun Doddy juga menggarisbawahi, kapasitas para pengusaha juga menjadi penghambat. Ia mengungkapkan, selama ini banyak perjanjian kerja sama dagang yang telah diteken Indonesia dengan negara lain. Tapi ternyata, tidak semua eksportir bisa memanfaatkannya. “Jalurnya sudah ada, tapi pengusahanya yang belum masuk,” kata Doddy. Ini terjadi salah satunya karena pengusaha belum terbiasa untuk memanfaatkan pasar tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, pengaruh perang dagang ini memang berbeda-beda di kawasan Asia Tenggara saja. Semakin negara tersebut ada di dalam supply-chain atau tergantung pada perdagangan, maka semakin negara ini terkena ekspos. Indonesia tidak terlalu terpengaruh perang dagang dibandingkan negara lain karena tidak terlalu dekat dengan supply-chain tersebut. “Itu good and bad,” kata dia.
Namun, Sri Mulyani menggarisbawahi bahwa negara yang saat ini paling bagus performanya, bisa jadi adalah negara yang paling bergantung pada dunia. Vietnam termasuk di dalamnya. Negara ini bisa tumbuh tinggi karena sangat bergantung pada investasi dari dunia. Cina pun demikian, menjadi negara besar yang sangat bergantung pada negara lain, terutama Eropa dan Amerika Serikat.
Dari semua persoalan tersebut, Staf Khusus Kepresidenan Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan bahwa pemerintah memahami kondisi pasca perang dagang tersebut. Untuk itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menekankan masalah ini dalam rapat terbatas mengenai APBN 2020, Senin, 15 Juli 2019. “Kita harus pangkas program yang tidak pada pengukuran impact-nya, semua harus dikaitkan dengan indikator,” kata Erani. Sehari sebelumnya, Jokowi juga menyampaikan visi di hadapan para relawannya di Sentul International Convention Center. Salah satu visi-nya yaitu mempermudah investasi untuk lapangan kerja.
FAJAR PEBRIANTO