dampak terhadap investasi. Dalam komponen ini, Indonesia lagi-lagi kalah dibandingkan negara-negara tetangga. Akibat perang dagang ini, kinerja investasi Indonesia memang tumbuh positif hingga 1,02 persen. Namun, negara lain bisa mencatatkan dampak positif yang lebih tinggi. Di antaranya Vietnam dengan 8,05 persen, Malaysia dengan 3,8 persen, dan Thailand dengan 2,73 persen.
Dalam catatan Indef, ada beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia kalah dibandingkan negara lain. Salah satunya yaitu terkait Ease of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berusaha. Sepanjang 2018, Indonesia memang berhasil meningkatkan poin kemudahan berusaha dari 67,69 poin menjadi hanya 66,52 poin. Namun berdasarkan data EoDB yang dirilis World Bank Group, peringkat Indonesia justru turun menjadi peringkat 73, dibandingkan 2017 yang menempati posisi 72.
Artinya, negara lain mengumpulkan lebih banyak skor alias memperbaiki kualitas kemudahan berusahanya lebih baik dari Indonesia. “Indonesia harus lebih banyak belajar dari praktik yang lebih sukses di negara lain, kata Ekonom World Bank Group, Arvind Jain dalam video conference di Kantor Pusat World Bank di Jakarta, Kamis, 1 November 2018 lalu. Sebut saja, Malaysia di peringkat 15, Thailand 27, dan Vietnam peringkat 69.
Jika dirinci, kata Taufik, kemudahan berusaha di Indonesia masih kalah karena jumlah prosedur yang harus dilalui mencapai 10 buah dengan waktu rata-rata 19,6 hari. Sedangkan Vietnam sudah mampu mencapai perizinan dengan 8 prosedur saja selama 17 hari. Tercepat yaitu Singapura dengan 2 perizinan selama 1,5 hari saja.
Dunia usaha sepakat dengan situasi ini. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani mengatakan, salah satu keluhan utama dari investor selama ini memang ada pada proses perizinan bisnis yang begitu berliku. Di level pusat, kata Rosan, syarat untuk sebuah izin usaha barangkali hanya dari A sampai D. Tapi begitu sampai di daerah, jumlah syarat yang harus dipenuhi bisa dari E sampai Z. Ini belum termasuk adanya beberapa daerah yang cenderung menerapkan kebijakan populis seperti syarat 40 persen tenaga kerja asli daerah. “Masalahnya ada enggak orangnya, ada enggak kemampuannya?” kata Rosan.
Dengan prosedur yang rumit seperti ini, investasi di Indonesia pun tidak bisa tumbuh lebih kencang. Rosan lagi-lagi mencontohkan Vietnam yang peringkat EoDB-nya tak jauh dari Indonesia, yaitu 69. “Tapi kenapa investasi di Vietnam begitu cepat? Karena memang di sana kepastiannya lebih cepat, dari segi hukum dan tanah,” kata dia. Sementara di Indonesia, investor harus menghadapi masalah kontrak bisnis yang sulit diimplementasikan dan masalah lain dalam kepastian hukum.
Sementara itu, Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia Doddy Zulverdi menyoroti dua hal penting ,ekspor dan investasi. Ia mengatakan pertumbuhan investasi di Indonesia beberapa tahun terakhir sebenarnya cukup naik, yaitu di level 6 persen dan bahkan mendekati angka 8 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sebelum 2014 yang hanya sebesar 3 persen saja. Terlebih, investasi yang sifatnya non-bangunan seperti mesin juga tumbuh semakin bagus.
Tapi untuk ekspor, Bank Indonesia punya catatan yang sama dengan Indef, bahwa Vietnam menjadi negara yang memperoleh keuntungan terbesar dari perang dagang setelah Amerika Serikat mengalihkan impor mereka dari Cina ke negara lain alias Trade Diversion. Doddy menyebut kondisi ini terjadi karena Vietnam memiliki kemiripan produk ekspor dengan Cina. Vietnam berada di jajaran negara tujuan pengalihan perdagangan tertinggi, bersama Taiwan, Malaysia, dan Singapura.
Untuk itu, Doddy menyarankan agar pemerintah bisa memberikan perhatian pada beberapa produk ekspor yang berpotensi memperoleh manfaat dari Trade Diversion. Untuk ekspor ke Amerika Serikat, Indonesia bisa