Dari catatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, persentase sampah plastik di Indonesia meningkat dari 14 persen pada 2013, menjadi 16 persen pada 2016. Nah, 62 persen dari sampah plastik ini merupakan sampah kantong plastik. Itulah sebabnya, kebijakan cukai diusulkan untuk mengurangi angka tersebut. Walau, komposisi sampah terbesar masih didominasi oleh sampah organik dan sisa makanan sebesar 40 persen pada 2016.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (depan kanan) memberikan berkas pertanggung jawaban atas pelaksanaan APBN kepada Wakil Ketua DPR Utut Adianto (kiri) disaksikan oleh Wakil Ketua DPR Agus Hermanto (kanan) pada Rapat Paripurna ke-20 DPR Masa Persidangan V Tahun 2018-2019 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 4 Juli 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Adapun skema cukai yang bakal diterapkan akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama yaitu untuk kantong dengan biji plastik virgin (polyethylene, polypropylene) dengan waktu pengurai lebih dari 100 tahun. Golongan ini akan dikenai tarif cukai yang lebih tinggi karena memiliki eksternalitas yang lebih tinggi. Sementara, tarif yang lebih rendah akan dikenakan pada biji plastik oxo-degradable karena dinilai lebih ramah lingkungan.
Ketua Umum Asosiasi Ekspor Impor Plastik Indonesia (Aexipindo) Ahmad Ma’ruf Maulana ikut menolak kebijakan ini karena menganggap banyak kepentingan yang bermain. Salah satunya yaitu dari perusahaan produsen plastik oxo-degradable. “Banyak yang nitip-nitip, Oxo itu harus pakai sekian persenlah, supaya tidak kena cukai,” kata dia. Padahal, negara di Uni Eropa telah melarang penggunaan plastik sekali pakai, termasuk plastik oxo-degradable.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono pun senada. Ia meminta agar pejabat Ditjen Bea dan Cukai memperbarui informasi yang mereka gunakan. Menurut Fajar, seharusnya ada tiga jenis pembagian yang dilakukan Bea dan Cukai.
Selain plastik konvensional dan plastik oxo-degradable, masih ada plastik bio-degradable, jenis plastik yang mulai banyak digunakan dan berasal dari bahan seperti singkong. Menurut Fajar, plastik jenis terakhir ini malah bisa menimbulkan bau busuk ketika dibuang, jika manajemen pengelolaan sampah belum diperbaiki. “Jadi update dulu data pendukungnya, kalau salah diagnosa, obatnya gak pas, yang malu pemerintah sendiri,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia Christine Halim masih mempertanyakan tujuan dari penerapan cukai plastik ini. Ia tidak setuju cukai digunakan untuk mengendalikan sampah kantong plastik karena dianggap tidak bisa didaur ulang dan berbahaya. Sebab pada kenyataannya, para pemulung di Tempat Pembuangan Akhir atau TPA telah memungut sampah ini untuk didaur ulang. Ia bahkan mengatakan, sistem daur ulang dari sampah plastik saat ini masih jauh lebih baik ketimbang kertas ataupun alumunium.
Di sisi lain, Christine menilai pemerintah selama ini belum mendukung penuh upaya pengelolaan sampah. Pertama, aturan pengelolaan sampah yang tidak dijalankan sebagaimana diperintahkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sehingga, sampah plastik di dalam negeri tidak diolah dengan baik. Ini yang membuat 55 persen bahan baku dari industri daur ulang plastik harus diperoleh dari luar negeri alias impor. “Pengusaha kan mencari keuntungan, bukan kerugian,” kata dia.
Kedua, beban pungutan PPN sebesar 10 persen dari proses daur ulang sampah di Indonesia, masih dibebankan ke lebih 600 industri besar dan 700 industri kecil. Asosiasi dan Kemenperin sebenarnya telah meminta Kementerian Keuangan untuk menurunkan PPN ini menjadi 5 persen saja. Namun sampai saat ini, belum ada tindak lanjut dari Kementerian Keuangan. Dua kondisi ini yang membuat Christine menolak rencana penerapan cukai. “Jadi jangan urusi cukainya dulu, tapi urusin dulu waste management-nya,” kata dia.