TEMPO.CO, Jakarta - Belum juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan keterangan resmi terkait operasi tangkap tangan yang diduga menyeret jaksa Kejaksaan Tinggi atau Kejati DKI Jakarta, Jaksa Agung H.M. Prasetyo sudah angkat bicara. "Nanti saya minta Jampidsus untuk merundingkan dengan KPK lagi," kata dia kepada wartawan, Jumat, 28 Juni 2019.
Baca: Kronologi OTT Jaksa Kejati DKI Jakarta
Prasetyo mengusulkan dua skenario dalam penanganan perkara ini. Pertama, semua orang yang ditangkap akan diproses di Kejaksaan Agung. Skenario kedua, Kejagung akan memproses dua jaksa yang ditangkap. Sementara pengacara dan pihak swasta yang ditangkap akan diproses KPK.
Dia mengatakan bila kasus ini ditangani kejaksaan maka akan mempercepat dan mempermudah penanganan perkara. "Kalau nantinya KPK menangani orang luarnya silahkan," kata dia.
Pernyataan Prasetyo ini muncul beberapa saat setelah kabar penangkapan jaksa oleh KPK mencuat. Apalagi, ketika itu beredar kabar bahwa anak Prasetyo yang juga jaksa terseret perkara ini. Namun, Jaksa Agung membantah kabar tersebut. “Hoaks itu,” kata dia.
Titik terang OTT di Kejati DKI ini baru muncul pada Sabtu, 29 Juni 2019 siang, KPK menyebut dua orang jaksa yang terciduk itu adalah Kepala Subseksi Kejati DKI, Yadi Herdianto dan Kepala Seksi Kamnegtibum TPUL Kejati DKI Yuniar Sinar Pamungkas.
Baca: OTT Jaksa, ICW Desak Jaksa Agung Mundur
Tim KPK menangkap Yadi di kantor Kejati DKI pada Jumat sore, 28 Juni 2019. KPK menyita duit Sing$ 8.100 yang belum jelas sumbernya. Sebelum ditangkap, ia juga ditengarai telah menerima duit Rp 200 juta dari pengacara bernama Alvin Suherman dan pengusaha, Sendy Perico untuk mengakali tuntutan jaksa dalam kasus penipuan yang diadili di Pengadilan Jakarta Barat.
Adapun Yuniarti ditangkap di Bandara Halim Perdana Kusuma pada hari yang sama. Dari tangannya, KPK menyita duit sebanyak Sing$ 20.874 dan US$ 700 yang belum dijelaskan asal-usulnya. Yadi dan Yuniarti dibawa lebih dulu ke Kejaksaan Agung sebelum diperiksa di Gedung Merah Putih KPK pada sore hari.
Kasus bermula ketika Sendy Perico melaporkan seseorang yang menipu dan melarikan uang investasinya sebesar Rp 11 miliar. Sebelum tuntutan dibacakan, Sendy dan Alvin telah menyiapkan uang untuk diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum. "Uang ini diduga ditujukan untuk memperberat tuntutan kepada pihak yang menipunya," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief di kantornya, Jakarta Selatan pada 29 Juni 2019.
Saat proses persidangan tengah berlangsung, Sendy dan pihak yang ia tuntut memutuskan perdamaian pada 22 Mei 2019. Pihak yang ia tuntut meminta kepada Sendy agar tuntutannya hanya setahun.
Alvin kemudian melakukan pendekatan kepada jaksa melalui perantara. Alvin kemudian diminta menyiapkan uang Rp 200 juta dan dokumen perdamaian jika ingin tuntutannya berkurang menjadi satu tahun. Sidang akan berlangsung di Pengadilan Jakarta Barat pada 1 Juli 2019. Penyerahan uang kemudian dilakukan pada 28 Juni 2019.
Baca: Anggota Fraksi Nasdem Anggap KPK Ingin Permalukan Kejaksaan
Alvin menyerahkan uang itu kepada Yadi Herdianto di kompleks perbelanjaan di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Setelah menerima uang di pusat perbelanjaan, Yadi kemudian menyerahkan uang sebanyak Rp 200 juta kepada Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Kejati DKI Jakarta Agus Winoto. "Uang diduga diberikan kepada AGW sebagai Aspidum yang memiliki kewenangan untuk menyetujui rencana penuntutan dalam kasus ini," kata Laode.
Belakangan, Penyuap Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto, Sendy Perico menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi. "SPE menyerahkan diri ke kantor KPK sekitar sebelum pukul 3 sore," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, Ahad, 30 Juni 2019.
Rupanya, KPK mengambil pilihan kedua yang dilemparkan Prasetyo. Mereka menyerahkan para jaksa yang menjadi tersangka ke Kejaksaan Agung. Laode pun yakin kedua orang itu bakal ditangani serius oleh Kejaksaan Agung. Apalagi, katanya, tim KPK sudah dilibatkan dalam kasus ini.
"Su'udzon boleh, tapi kita juga boleh berprasangka baik kan. Jadi saya yakin kejaksaan akan sangat sungguh-sungguh untuk itu dan sebenarnya tim KPK juga sudah kita libatkan,” kata Laode.
Di sisi lain, keinginan Kejaksaan Agung mengambil alih kasus mendapat sorotan dari berbagai pihak. Salah satu yang paling vokal menantang adalah Indonesia Corruption Watch. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana bahkan mendesak Prasetyo untuk mundur dari jabatannya sebagai Jaksa Agung.
Baca: Daftar Aparat Hukum yang Terjaring OTT KPK Makin Panjang
"Jaksa Agung harus bertanggung jawab atas kejadian korupsi di tubuh Kejaksaan. Karena peristiwa ini sudah berulang, maka Jaksa Agung sebaiknya mengundurkan diri karena telah gagal memastikan kejaksaan bebas dari korupsi," kata Kurnia.
Selain itu, menurut ICW, pelimpahan kasus ke Kejaksaan tak memiliki urgensi. "Karena tidak ada urgensi sebenarnya untuk ditangani oleh kejaksaan, apapun alasannya," kata Kurnia menambahkan. Ia menilai berdasarkan Undang-Undang KPK, kejaksaan tak memiliki wewenang untuk mengambil alih kasus yang ditangani KPK.
Kurnia mengatakan setidaknya ada 3 alasan mengapa hal itu tak boleh dilakukan. Pertama, KPK adalah lembaga yang paling tepat untuk menangani kasus korupsi penegak hukum. Hal itu diatur dalam pasal 11 huruf a Undang-Undang KPK. "Maka KPK secara yuridis mempunyai otoritas untuk menanganinya lebih lanjut," kata dia.
Kedua, tidak ada lembaga atau pihak manapun yang boleh mengintervensi penegakan hukum yang dilakukan KPK. Undang-undang telah menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Baca: Penyuap Aspidum Kejati DKI Jakarta Menyerahkan Diri ke KPK
Dan ketiga, penanganan perkara harus bebas dari konflik kepentingan. Berkaca pada OTT ini, ICW menyarankan sebaiknya Kejaksaan Agung melakukan perbaikan internal. Penangkapan oknum jaksa di Kejati, kata dia, adalah bentuk penyelamatan integritas Kejaksaan di mata publik. "Setidaknya, langkah KPK dapat dimaknai juga sebagai upaya bersih-bersih internal Kejaksaan dari pihak-pihak yang mencoreng martabat Kejaksaan," kata Kurnia.
Senada dengan ICW, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan berdasarkan Undang-Undang KPK, lembaga antirasuah itu bertugas melakukan supervisi dalam hal pemberantasan korupsi di institusi penegak hukum lainnya. "KPK yang justru bisa mengambil alih kasus di kejaksaan, bukan sebaliknya," kata pengajar di Universitas Triskasi ini dihubungi Sabtu, 29 Juni 2019.
Baca: Kejati DKI Bantah Anak Jaksa Agung Ditangkap dalam OTT KPK
Aturan yang dirujuk oleh Fickar adalah Pasal 6 huruf b UU KPK. Pasal itu menyebutkan KPK memiliki tugas untuk melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Lebih lanjut dalam Pasal 8 beleid yang sama, KPK juga berwenang mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.