TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian membentuk tim investigasi untuk mengusut kerusuhan 22 Mei 2019 yang menewaskan delapan orang dan melukai ratusan orang lainnya. "Kapolri sudah bentuk tim investigasi dipimpin Inspektorat Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Moechgiyarto untuk mengetahui apa penyebab dan semua aspek," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta Pusat pada Kamis, 23 Mei 2019.
Polri berencana untuk menggandeng Komnas HAM dan Setara Institute untuk melakukan investigasi itu. Pelibatan lembaga nonkepolisian dimaksudkan agar proses penyelidikan semakin detail. Tim, ujar Iqbal, perlu mengumpulkan berbagai macam alat bukti di lapangan. Tugas tim salah satunya adalah menemukan penyebab tewasnya delapan pengunjuk rasa dalam kerusuhan itu.
Baca juga: Hermawan Sulistyo Ungkap Kejanggalan Korban Tewas Aksi 22 Mei
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin menuturkan pihaknya belum dihubungi ataupun melaksanakan pertemuan dengan Polri terkait ajakan kerjasama dalam tim investigasi kerusuhan 22 Mei. "Belum ada pembicaraan sama sekali. Jadi kami juga belum tahu apa yang dimaksud oleh Polri," ucap Amiruddin saat dihubungi, Ahad, 26 Mei 2019. Ia menyarankan Polri menginvestigasi delapan korban tewas dengan otopsi dan uji balistik proyektil jika terbukti terkena peluru tajam
Komisioner Komnas HAM lainnya, Choirul Anam, berpendapat pihaknya tidak perlu bergabung dengan tim kepolisian. "Pengawasan independen lebih baik. Khususnya dalam konteks peristiwa terbuka dan melibatkan kepolisian sendiri," kata Anam saat dihubungi di hari yang sama.
Namun, menurut Anam, Komnas HAM lebih baik melakukan pengawasan sendiri termasuk memantau proses yang dilakukan oleh kepolisian. "Misalnya apa tindakan internal sudah mencerminkan keadilan ataukah belum. Itu kerjaan Komnas HAM."
Ketua Setara Institute, Hendardi mengaku belum dihubungi hingga tulisan ini dibuat. "Mungkin itu baru gagasan," ujar Hendardi saat dihubungi, Senin 27 Mei 2019. Sehingga ia belum mempertimbangkan akan terlibat atau tidak dalam tim investigasi ini.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Adian Napitupulu meminta aparat kepolisian tak ragu mengungkap dalang kerusuhan 22 Mei. Ada banyak cara yang bisa dilakukan polisi untuk mengusut siapa dalang kerusuhan itu, antara lain melalui pengakuan ratusan orang yang ditangkap di lapangan, bukti-bukti di lapangan, rekaman video, rekaman cctv, aliran dana, kendaraan pengangkut dan sebagainya. Dengan teknologi dan sumber daya yang dimiliki, ujar dia, polisi mampu mengumpulkan semua bukti-bukti itu.
Menurut dia, yang sulit bukanlah mengumpulkan bukti-bukti. “Melainkan keberanian polisi untuk mengungkap siapa dalang sesungguhnya," kata Adian, Senin, 27 Mei 2019. Mengungkap siapa dalang sesungguhnya menjadi sangat penting untuk mencegah spekulasi liar dan fitnah yang asal tuduh sana-sini tanpa dasar terlebih lagi bila di tambah "gorengan" dan "bumbu" hoax dari kepentingan politik.
Iqbal mengatakan tim telah bekerja sejak 23 Mei 2019, atau satu hari setelah kericuhan. Sebagai langkah awal investigasi, polisi telah mendeteksi adanya dua kelompok massa perusuh yang disinyalir menjadi biang kerusuhan. Kelompok pertama adalah kelompok GARIS, yang disebut berafiliasi dengan ISIS.
Dari kelompok GARIS, polisi telah meringkus dua orang. Dari keterangan kedua tersangka, mereka berniat untuk berjihad pada aksi unjuk rasa 21-22 Mei. Sedangkan kelompok dua menyusup dengan membawa dua senjata api. Kelompok kedua ini membawa senjata dan menciptakan martir apabila ada korban.
Sejalan dengan penyelidikan, Polri menemukan adanya kelompok baru beranggotakan enam orang yang turut menyebabkan kerusuhan. Keenam anggota itu ditangkap dalam rentang waktu 21-24 Mei 2019. Mereka semua memiliki senjata api ilegal. Bahkan, mereka ternyata memiliki rencana lain, yakni membunuh empat tokoh nasional.
Baca juga: KPAI Jelaskan Kronologis Tewasnya Dua Remaja di Kerusuhan 22 Mei
Tersangka pertama adalah HK. Warga Cibinong, Jawa Barat, ini merupakan pemimpin yang bertugas mencari senjata api dan eksekutor, sekaligus menjadi eksekutor itu sendiri. HK ini yang akan memimpin tim turun ke jalan pada 21 Mei 2019. “Dengan membawa satu pucuk senjata api rebolver taurus cal 38," kata Iqbal.
HK ditangkap pada 21 Mei 2019 sekitar pukul 13.00 di lobi Hotel Megaria, Cikini, Jakarta Pusat. Dari tangan HK, polisi menyita uang sebanyak Rp 150 juta. Uang itu HK dapatkan dari seseorang yang memerintahnya untuk melakukan aksi ini. Namun, Iqbal enggan menyebutkan siapa orang yang memerintah HK.
Tersangka kedua adalah AZ. Warga Ciputat, Tangerang Selatan berperan sebagai pencari eksekutor sekaligus menjadi eksekutor. Ia ditangkap pada hari yang sama dengan penangkapan HK di Terminal 1C Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Tersangka ketiga IR yang beralamat di Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ia eksekutor dengan bayaran Rp 5 juta. IR ditangkap pada 21 Mei malam pukul 20.00 di Pos Peruri, Kantor Security, Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Tersangka eksekutor lainnya adalah TJ. Selain berperan sebagai eksekutor, TJ juga diketahui menguasai senjata api rakitan laras pendek cal 22 dan laras panjang cal 22. TJ menerima uang sebesar Rp 55 juta untuk melakukan aksinya. Ia ditangkap di Sentul, Bogor. "Kami periksa, yang bersangkutan positif ampethamin dan metaphetamin, narkoba," ujar Iqbal.
Tersangka lain yang juga terdeteksi mengkonsumsi narkoba adalah AD. Ia beralamat di Rawa Badak Utara, Koja, Jakarta Utara. AD berperan menjual tiga pucuk senjata api rakitan kepada HK. Ia mendapatkan Rp 26 juta dari hasil penjualan senjata itu. Ia ditangkap pada 24 Mei di wilayah Swasembada, Jakarta Utara.
Ada pula tersangka AF. Perempuan ini beralamat di Rajawali, Pancoran, Jakarta Selatan. Ia pemilik dan penjual senjata api ilegal jenis revolver taurus kepada HK dengan bayaran Rp 50 juta. "Ditangkap pada hari Jumat 24 Mei 2019 di Bank BRI Jalan Thamrin, Jakarta Pusat," kata Iqbal.
Baca juga: Aktivis: Rusuh 22 Mei Tak Lepas dari ...
Berdasarkan pengakuan enam tersangka, polisi mengetahui bahwa mereka juga merencanakan aksi pembunuhan kepada sejumlah pemimpin lembaga survei swasta dan pejabat publik. Bahkan, salah satu tersangka sudah bolak-balik memantau pergerakan seorang pemimpin lembaga survei. "Beberapa hari dia pantau rumah pemimpin ini," kata Iqbal.
Para alumni Lembaga Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH YLBHI) untuk HAM & Demokrasi mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) korban aksi massa 21-22 Mei.
"Yang akan mengungkap kebenaran, siapa korban dan apa penyebabnya dalam aksi massa itu," kata alumni LBH untuk HAM dan Demokrasi, Abdul Fickar Hadjar melalui keterangan tertulis, Ahad, 26 Mei 2019. TGPF itu harus melibatkan perwakilan masyarakat sipil.
Alumni LBH YLBHI untuk HAM dan Demokrasi juga menuntut adanya sanksi tegas kepada komandan yang bertanggung jawab jika benar ditemukan adanya pelanggaran prosedur menggunakan peluru tajam. Ia merekomendasikan pemerintah daerah agar bisa memastikan layanan kesehatan sampai tepat untuk para korban rusuh 22 Mei.
ANDITA RAHMA | FIKRI ARIGI