Awang melanjutkan konflik kedua terjadi saat pemerintahan Mahathir kedua kali setelah Koalisi Pakatan Harapan memenangkan pemilu pada Mei 2018. Pada Maret 2019, PM Mahathir sempat menyatakan Malaysia akan meratifikasi Statuta Roma untuk keanggotaan di International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional.
Namun, rencana ini kemudian dibatalkan karena adanya penolakan dari sejumlah kalangan termasuk kalangan kerajaan. “Panjang umur raja. Demi Agama, Bangsa dan Negara. Kedaulatan raja,” kata Pangeran Ismail lewat cuitan pada 5 April 2019.
Sebelumnya, Pangeran Ismail sempat mencuit bahwa keputusan pemerintah untuk menjadi anggota ICC dilakukan tanpa konsultasi dengan Conference of Rulers, yang beranggotakan sembilan sultan.
Sultan Ibrahim, ayah Pangeran Ismail, juga menuding Putrajaya melanggar Konstitusi Federal dengan menandatangani Statuta Roma.
Soal ini, Mahathir mengatakan ada banyak kebingungan yang muncul pasca rencana ratifikasi Statuta Roma. “Jadi kami tidak akan melanjutkan,” kata Mahathir. “Ini bukan karena kami menolak Statuta Roma, tapi kebingungan politik yang muncul dan ditimbulkan oleh orang-orang dengan konflik kepentingan," kata dia.
Baca:
Konflik juga kembali terjadi antara PM Mahathir dengan Sultan Johor terkait penunjukan Menteri Besar Osman Sapian, yang merupakan perwakilan pemerintah federal di setiap negara bagian. Osman mundur pada April 2019. Menteri besar merupakan bagian dari eksekutif seperti posisi gubernur di negara republik.
Sultan Ibrahim mengatakan,”Urusan terkait Johor, jangan coba melakukan intervensi dalam urusan negara karena ini negara berdaulat yang masih punya sultan. Saya akan membuat keputusan terbaik untuk rakyat ketika waktunya tiba,” kata dia. Sultan lalu melantik Sahruddin Jamal sebagai menteri besar, yang menjalankan pemerintahan sehari-hari di Johor.
PM Mahathir menegaskan penunjukan menteri besar merupakan kewenangan dari partai pemenang pemilu. “Saya yakin Johor bagian dari negara ini kecuali itu negara asing. Saya tidak mengintervensi urusan internal negara asing,” kata Mahathir seperti dilansir Straitstimes.
Analis Lim Wei Jiet menulis di media Malaysia Kini bahwa semua tindakan sultan harus berdasarkan masukan dari menteri besar. Ini diatur dalam artikel 7 di Konstitusi Johor. “Sultan hanya punya diskresi dalam wilayah sangat terbatas,” kata Lim.
Itu sebabnya, lanjut Lim, sultan tidak punya kekuasaan untuk memerintahkan menteri besar mengundurkan diri atau menggantinya selama masa tugasnya.
PM Malaysia, Mahathir Mohamad (kiri) dan Putra Mahkota Johor, Pangeran Ismail Sultan Ibrahim (kanan). Straits Times/Business Insider
Kecuali, jika ada bukti bahwa menteri besar telah kehilangan kepercayaan dari mayoritas anggota dewan legislatif di tingkat negara bagian atau State Legislative Assembly. Ini pernah terjadi di Perak pada 2009 dan Sabah 2018.
“Faktanya, Konstitusi Johor menyatakan seorang menteri besar bisa mengundurkan diri jika dia kehilangan kepercayaan dari SLA, yang diatur pada Artikel 4 ayat 6 Konstitusi Johor,” kata Lim. “Tidak ada alasan lain dia bisa melakukan itu.”
Pengamat Awang mengatakan konflik Mahathir dan para raja diwakili oleh Sultan Johor yang dianggap sangat berpengaruh dan lebih kaya dibandingkan raja lain. “Sultan Johor lebih kaya karena istana Johor telah lama terlibat dalam perniagaan dan lokasinya dekat dengan Singapura sehingga lebih banyak bisnis terjadi,” kata Awang lewat WhatsApp.