TEMPO.CO, Kuala Lumpur – Putra Mahkota Ismail Sultan Ibrahim dari Kesultanan Johor atau Pangeran Johor mencuit pada Sabtu, 4 Mei 2019, yang diduga terkait dengan pernyataan PM Malaysia, Mahathir Mohamad.
Dia mengeluhkan sejumlah kebaikan yang dilakukan ayahnya Sultan Iskandar Sultan Ismail yang kerap tidak mendapatkan apresiasi sepantasnya di media massa.
Baca: Mahathir Mohamad Sindir Pangeran Johor Tidak Paham Konsep Federal
Ismail, yang bergelar Tunku Mahkota Johor, mengatakan ayahnya telah memberikan sejumlah lahan untuk kepentingan publik seperti di daerah Bandar Dato Onn dan Mersing, Johor.
“Tanah untuk pembangunan masjid dan kuil dibantu. Orang naik haji? Beribu orang dibantu oleh sultan. Sumbangan sumbangan ke rumah sakit. Tidak ada berita,” kata Ismail, 34 tahun, lewat akun Twitter @hrhjohorii pada Sabtu, 4 Mei 2019.
Ismail mengatakan ini setelah beberapa hari sebelumnya PM Malaysia, Mahathir Mohamad, melontarkan ide untuk mengambil lahan publik, yang disebut telah beralih kepemilikan atas nama sultan Johor. Mahathir mengatakan tanah federal merupakan milik pemerintah federal.
Saat ini, pemerintah federal Malaysia sedang mengkaji rencana untuk membangun jalur kereta api patungan dengan Singapura, yang menghubungkan Johor dan Singapura.
Baca: Mahathir Bersitegang dengan Pangeran Johor, Kenapa?
“Iya, kami akan meminta kembali lahan itu jika ada transfer dari pihak manapun itu harus lewat prosedur yang benar,” kata Mahathir seperti dilansir Channel News Asia pada Jumat, 3 Mei 2019.
Pernyataan Mahathir ini menimbulkan tanggapan dari Sultan Johor. Jaba M. Noah, yang merupakan sekretaris sultan, menjawab isu ini dalam rilis yang disebarkan ke media sehari kemudian pada 4 Mei 2019.
“Sultan Ibrahim mengatakan jika benar lahan miliknya di kawasan Bukit Chagar bakal digunakan untuk proyek RTS, dia bersedia menyerahkan lahan itu kepada pemerintah tanpa biaya,” kata Jaba dalam pernyataan di akun Facebook seperti dilansir Channel News Asia pada Sabtu, 4 Mei 2019.
Media The Star melansir lahan seluas sekitar 4.5 hektar itu merupakan bentuk pembayaran atas pembangunan kompleks kantor imigrasi Johor Bahru pada 2012. Nilai lahan ini sekitar 495 juta ringgit atau sekitar Rp1.7 triliun.
Baca:
Pengalihan lahan ini kepada kesultanan Johor diduga terjadi pada masa pemerintahan PM Najib Razak, yang didukung Barisan Nasional.
Ketegangan antara hubungan PM Mahathir dan kesultanan Johor, yang berbatasan dengan Singapura, ini sebenarnya telah terjadi sejak 1990an.
PM Malaysia, Mahathir Mohamad, (paling kanan), dan Sultan Johor, Ibrahim Iskandar, (tengah berbaju putih). The Star
Straitstimes melansir konflik pertama antara Mahathir dan para sultan terjadi pada era pemerintahan pertama Mahathir pada 1990a. Saat itu, Mahathir lewat Koalisi Barisan Nasional ‘melucuti’ kekuasaan para penguasa kesultanan Malaysia lewat amandemen konstitusi.
Ini agar sultan tidak memiliki kekuasaan eksekutif sehingga tidak bisa mengatur pemerintahan seperti penunjukan menteri. “Ini terjadi pada 1983 dan 1993 terkait pengurangan kekuasaan raja,” kata pengamat Awang Azman dari University of Malaya, Malaysia kepada Tempo. Mahathir sempat menjadi PM sejak 1981 -- 2003.