Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta AB. Widyanta menyebut anggota gerakan Anarko Sindikalis sebagai kalangan terdidik, paham informasi, dan kritis. Mereka menjaga jarak dengan kapitalisme yang menciptakan ketimpangan sosial di sekitar mereka. Basis gerakan mereka di wilayah urban atau kawasan industrial. "Mereka tumbuh di kota-kota besar di Indonesia," kata dia kepada Tempo, Ahad, 5 Mei 2019.
Simak: Dosen UGM Kritik Polri Soal Penanganan Gerakan Anarko Sindikalis
Gerakan Anarko Sindikalis dalam berbagai kesempatan tampil untuk merebut ruang politik, pengakuan, dan perhatian publik. Gerakan ini mulai membesar di Indonesia setelah tahun 2000-an. Pasca-reformasi membawa angin segar untuk gerakan ini. Mereka membiayai gerakan dari usaha yang mereka jalankan sendiri.
Di Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta, Anarko Sindikalis menarik minat kalangan muda. "Gerakan ini aktif dalam aktivitas seni dan kerja-kerja kebudayaan. Itu membuat Anarko Sindikalis mudah diterima kaum muda," kata dia.
Situasi geopolitik ekonomi global ke depan akan menentukan formasi gerakan Anarko Sindikalis. Mereka akan berkembang seiring dengan iklim ekonomi politik ke depan. Bila fundamentalisme pasar semakin merajalela, maka kelompok ini akan semakin tumbuh. Mereka akan semakin resisten dan menjalankan gerakan-gerakannya.
Baca juga: Anggota Anarko Sindikalis: Kami Ingin Masyarakat Tanpa Kelas
Di Indonesia, gerakan ini belum mengakar dan belum menjadi ideologi yang besar seperti di Eropa. Anarkisme secara simbolik seringkali terkesan eksklusif karena stigma-stigma negatif sebagai perusak, tukang onar, dan rusuh. Itu yang membuat produksi pengetahuan mereka terlihat eksklusif.
Anarko Sindikalis berpijak pada ideologi pembebasan. Mereka membela buruh, kebebasan, persamaan, keadilan sosial, dan melawan kapitalisme atau pemilik modal. Mikhail Alexandrovich Bakunin merupakan satu dari pemikir anarkis terbaik asal Rusia. Bakunin memimpin kelompok anarkisme dalam pertemuan Asosiasi Buruh Internasional (Internasionale I) di London pada tahun 1864.
Makanya, A.B. Widyanta mengkritik langkah polisi yang berlebihan dalam menangani gerakan Anarko Sindikalis. “Phobia yang berlebihan. Polisi sangat represif pada peringatan Hari Buruh di Bandung,” kata dia.
Baca juga: Pengamat: Aktivis Anarko Sindikalis dari Kalangan Terdidik
Gerakan Anarko Sindikalis, kata dia, mendapat stigma atau cap mirip Komunisme. Phobia terhadap gerakan itu menurutnya seperti menciptakan hantu baru yang tidak perlu. Polisi seharusnya tidak gegabah menangani gerakan ini dan tidak menjadikan gerakan itu sebagai kambing hitam. Kekerasan dan pemberangusan terhadap gerakan Anarko Sindikalis justru menggambarkan ketidakdewasaan dalam berdemokrasi.
Ihwal tuduhan gerakan itu merusak fasilitas umum, polisi seharusnya berhati-hati menyelidikinya dan tidak asal tuding. Polisi juga memperhatikan kondisi psikologis massa yang sedang melakukan aksi. Perusakan fasilitas umum misalnya bisa saja ditunggangi karena aktor dalam aksi itu jumlahnya banyak.
Jejak vandalisme massa berbaju hitam di dinding SLB di area kerusuhan Jalan Singaperbangsa, Bandung, Jumat, 3 Mei 2019. Kelompok massa yang mengenakan melakukan sejumlah tindakan yang memancing kerusuhan pada peringatan Hari Buruh di sejumlah daerah di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Makassar, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. TEMPO/Prima Mulia
Dia menjelaskan Anarko Sindikalis merupakan cabang dari aliran pemikiran anarkisme yang mengkritik ketimpangan kelas. Gerakannya nir-kekerasan, membela serikat buruh, persamaan, dan memperjuangkan keadilan sosial. Mereka mengusung pemenuhan hak buruh, hak hidup yang layak.
Gerakan itu melawan fundamentalisme pasar atau kapitalisme yang sangat masif di Indonesia. Idenya sama dengan yang diusung Marxisme. Dosen yang mengajar teori-teori sosiologi dan sosiologi lingkungan ini menyebutkan kerap berdiskusi dengan aktivis Anarko. Spirit perjuangan mereka adalah memperjuangkan buruh dan melawan kapitalisme global yang mendera berbagai lini kehidupan. “Gerakan pembebasan buruh menjadi ruh mereka,” kata dia.
Anggota gerakan Anarko Sindikalis, kata Widyanta, punya militansi melawan kapitalisme. Misalnya, industri yang merusak lingkungan hidup dan pelanggar Hak Asasi Manusia. Kebanyakan dari mereka terjun langsung dan punya pengalaman menghadapi konflik agraria atau penyerobotan tanah atas nama infrastruktur. Gerakan mereka mengajak orang berpikir tentang persoalan-persoalan sosial, misalnya pembangunan atas nama infrastruktur dan pariwisata.
Widyanta menuturkan setelah reformasi gerakan ini makin membesar seiring dengan semakin berkembangnya serikat buruh di Indonesia. Gerakan ini, kata dia seharusnya diberi ruang dan tidak disingkirkan.
Simak kelanjutannya: Blak-blakan Anggota Anarko Sindikalis