Sofyan juga diduga menyuruh salah satu direktur PLN segera merealisasi kerja sama PLN, BlackGold Natural Resources, dan China Huadian Engineering Company (CHEC) dalam menggarap PLTU Riau 1. Hingga Juni 2018, Sofyan beberapa kali bertemu dengan Eni dan Johannes di sejumlah tempat, seperti hotel, restoran, kantor PLN, dan di rumah Sofyan.
Di sela-sela pembahasan proyek, Johannes diduga menjanjikan imbalan 2,5 persen dari total nilai investasi proyek sebesar US$ 900 juta untuk Eni dan kawan-kawan.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Sofyan Basir tercatat dua kali menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tiga terdakwa lainnya. Dalam pemeriksaannya, Sofyan Basir mengakui adanya pertemuan-pertemuan itu, tapi membantah menerima suap dari Johannes.
Hingga berita ini ditulis, Sofyan Basir belum bisa dimintai konfirmasi. Menurut pengacara Sofyan, Soesilo Aribowo, kliennya sedang berada di Paris sejak pekan lalu. KPK memang belum meminta Imigrasi mencegah Sofyan Basir ke luar negeri.
Menurut Soesilo, rencananya Sofyan Basir pulang ke Indonesia pada pekan ini. Namun, Soesilo mengaku tidak tahu kepastian tanggalnya. Soesilo hanya menjamin Sofyan basir bakal kooperatif. "Insya Allah, sepanjang proses hukumnya, jelas beliau akan kooperatif," kata dia.
Terkait keberlangsungan operasional PLN usai ditetapkannya Sofyan Basir sebagai tersangka, Kementerian Badan Usaha Milik Negara menyatakan segera membahas lebih jauh. “Untuk kelangsungan organisasi PLN saya akan membicarakannya dengan pimpinan kami," ujar Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah dalam pesan singkat kepada Tempo, Selasa malam, 23 April 2019.
Edwin mengatakan kementeriannya menghormati keputusan KPK tersebut dan meminta Sofyan Basir sebagai warga negara menjalankan proses hukum yang berlangsung. Kendati Sofyan Basir telah resmi mengenakan rompi oranye, Edwin berujar tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah.
Namun merujuk Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/MBU/02/2015 tentang Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan, dan Pemberhentian Anggota Direksi BUMN khususnya pada pasal 4, disebutkan bahwa anggota direksi bisa diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS atau Menteri BUMN. Salah satu alasannya khususnya di poin d adalah karena direksi yang bersangkutan “telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dalam tindakan yang merugikan BUMN atau negara".
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai kasus ini bisa menjadi momentum perbaikan sistem pengadaan listrik di PLN. Terutama mengenai tata kelola dalam sistem tender supaya bisa lebih transparan.
Ke depan, kata Fahmy pengadaan dan perencanaan di PLN perlu peran serta BPK dan KPK sejak dalam perencanaan, penetapan pemenang tender, hingga pengawasan pelaksanaan pembangunan pembangkit listrik. "Untuk minimizing kasus suap di proyek pembangkit, dua hal ini perlu dilakukan," kata Fahmy ketika dihubungi, Rabu, 24 April 2019.
Model penunjukan tetap, menurut Fahmy, bisa saja dipertahankan, tapi perlu ada persyaratan yang ketat dan transparan sehingga dapat dimonitor dan dikontrol secara internal, maupun eksternal, termasuk kontrol masyarakat.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Ia menyebutkan pemerintah sebagai regulator dan Menteri ESDM yang mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) harus terlibat aktif dan lebih ketat mengawasi perencanaan dan usulan-usulan proyek, khususnya proyek-proyek PLTU.
Baca: Rekam Jejak Karier Sofyan Basir, Dari Bankir ke Bos PLN
Fabby juga mengusulkan agar setiap proses penyusunan RUPTL ada public hearing di mana pelaku usaha dan masyarakat bisa memberikan masukan. "Dengan demikian ada partisipasi dan pengawasan dari masyarakat," kata Fabby menanggapi lebih jauh tentang kasus yang menjerat Sofyan Basir tersebut.
MAYA AYU | ROSSENO AJI | CAESAR AKBAR | DIAS PRASONGKO