Atas dasar dua alasan ini Muhammadiyah membebaskan kadernya menentukan pilihan di kontestasi Pemilihan Presiden 2019. Meski menjaga jarak dengan politik kekuasaan, Haedar mengatakan Muhammadiyah akan lebih proaktif berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan partai politik.
Sedangkan pemimpin Muhammadiyah, harus tetap menjaga posisi dan peran agar tak terbawa arus politik kadernya atau pihak di luar Muhammadiyah. "Posisi ini tetap dijaga dengan baik dan konsisten dari periode ke periode secara resmi sebagai kebijakan organisasi, serta tidak akan berubah," kata Haedar, Senin, 18 Februari 2019.
Hal ini dilakukan untuk mentransformasi nilai-nilai Muhammadiyah. Haedar mencontohkan, Muhammadiyah mengundang semua pimpinan partai di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah di Menteng, Jakarta Pusat. ”Kalau kami terus sering bertemu tokoh-tokoh politik, partai politik, dan partai politik secara institusi, akan ada negosiasi nilai."
Simak juga: Jokowi Tiba di Bengkulu, Hadiri Sidang Tanwir Muhammadiyah
Ia mengingatkan agar mereka yang terjun ke politik dan masih berada di naungan Muhammadiyah untuk tidak mendesak-desakkan urusan politik ke dalam tubuh organisasi. Apalagi jika sampai menyebabkan keretakan dan masalah.
Sepanjang Muhammadiyah berdiri sejak 1912 di Yogyakarta, ormas keagamaan kedua terbesar di Indonesia ini telah menghasilkan banyak poltikus. Seperti pendiri Partai Amanat Nasional Amien Rais, hingga yang saat ini aktif di tim sukses dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Di kubu pasangan Jokowi - Ma'ruf Amin, ada Raja Juli Antoni, mantan Ketua Umum PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah yang saat ini menjadi Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sedangkan di kubu Prabowo - Sandiaga Uno, ada Dahnil Anzar Simanjuntak yang mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah.
ANDITA RAHMA | EGI ADYATAMA