TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta masyarakat untuk lebih utuh melihat kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN, tidak hanya melihat yang dikerjakan pemerintah untuk membiayai pembangunan sekadar melalui instrumen utang dan penarikan pajak.
Baca juga: Tanggapi Kritik Prabowo, JK: Pemerintahan Soeharto juga Berutang
"Jangan pernah berpikir memahami APBN, seolah-olah isinya hanya pemerintah hanya mungut pajak nyusahin rakyat, kami berutang membenani rakyat. It's not as simple as that. Ceritanya lebih kompleks dibandingkan hanya itu," kata Sri Mulyani saat menjadi pembicara dalam DBS Asian Insights Conference di Hotel Mulia, Jakarta Selatan, Kamis 31 Januari 2019.
Persoalan utang dan juga pajak, terutama tax rasio menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Perihal ini bahkan banyak disebutkan oleh calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Tak hanya itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli bahkan sempat mengeluarkan cuitan mengenai persoalan utang pemerintah.
Sri Mulyani menjelaskan, pembiayaan negara melalui APBN bukan hanya sekadar melalui instrumen utang dan penarikan pajak. Tetapi saat ini pemerintah telah memiliki instrumen lain dalam membiayai APBN. Hal ini karena saat ini kondisi APBN dan instrumen fiskal yang ada telah mencapai tahap matang dan teruji.
Salah satunya, ia menyebut pemerintah memiliki instrumen Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha untuk membiayai pembangunan. Dia menjelaskan skema ini nyatanya telah banyak membantu pemerintah dalam membangun infrastruktur dan pembangunan kesejahteraan sosial.
Menurut catatan Kementerian Keuangan saat ini skema proyek pembiayaan lewat KPBU telah ada 17 proyek dengan 3 proyek sudah beroperasi dan 11 proyek masih under contruction. "Dari berbagai proyek dengan total skema ini sudah mampu memberikan investasi sebesar Rp 165 triliun. Ada 15 proyek yang sedang kami siapkan, mulai dari jalan raya, water treatmen hingga transportasi publik," kata Sri Mulyani.
Selain itu, untuk menarik investasi dan pembiayaan, pemerintah memiliki instrumen khusus melalui perusahaan-perusahaan seperti PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Penjaminan Infrastruktur dan juga Indonesia Insfrastruktur Finance. Instrumen ini digunakan pemerintah untuk membiayai berbagai program pembangunan di bidang infrastruktur sebab seringkali dunia usaha kesulitan jika berhubungan langsung dengan Kementerian yang memiliki persyaratan yang rigid dan sulit.
"Jadi jangan sampai ada yang mengira kayaknya pemerintah cuma membangun, mikirnya, cuma utang, utang utang. Ini to make my records straight di sini untuk anda semua," tutur mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.
Ini bukan kali pertama Sri Mulyani menjelaskan soal utang. Saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR pada September 2017, dia menjelaskan manfaat yang dirasakan masyarakat melalui utang untuk pembangunan. "MRT Jakarta 24 triliun pinjaman akan menciptakan fasilitas mass rapid transit atau pengangkutan massal untuk 412 ribu penumpang per hari atau 48 juta penumpang per tahun, menciptakan 48 ribu lapangan kerja selama masa konstruksi," kata Sri Mulyani saat itu.
Pada 15 Januari 2019, Bank Indonesia merilis posisi utang luar negeri Indonesia per November 2018 tercatat US$ 372,9 miliar. Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 183,5 miliar, serta utang swasta termasuk BUMN sebesar US$ 189,3 miliar.
Jumlah utang luar negeri tersebut meningkat US$ 12,3 miliar dibandingkan posisi pada akhir bulan sebelumnya. Kendati meningkat, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman Zainal mengatakan utang luar negeri Indonesia pada akhir November 2018 tetap terkendali dengan struktur yang sehat.
Hal ini tercermin antara lain dari rasio utang luar negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir November 2018 yang tetap stabil di kisaran 34 perzen. "Rasio tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata negara peers," kata Agusman pada 15 Januari 2019.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Riza Tyas menuturkan meskipun jumlah ULN pemerintah maupun swasta meskipun meningkat, penggunaannya diperuntukkan untuk hal-hal yang produktif.
“Kalau korporasi bisa untuk modal kerja atau untuk kebutuhan investasi, atau untuk belanja modal (capex),” ujarnya. Adapun untuk jangka pendek, menurut dia, utang biasanya digunakan untuk kebutuhan modal kerja, dan jangka panjang untuk investasi. “Korporasi secara total pasti menyesuaikan dengan kemampuan likuiditasnya supaya tidak ada mismatch juga dari sisi kurs.”
HENDARTYO HANGGI | GHOIDA RAHMA