Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia menilai, penahanan mahasiswa Papua tidak dapat dibenarkan. Sebab, kata dia, aksi tersebut berlangsung damai sehingga tidak ada alasan untuk menangkap mahasiswa yang terlibat aksi.
Simak: Kata Anak Aktivis Theys Eluay soal Peringatan HUT OPM
"Jika tuduhannya adalah makar maka itu salah kaprah. Sebab, makar dalam KUHP itu tindakannya harus merupakan tindakan penyerangan," ujar Genoveva saat dihubungi Tempo pada Ahad, 2 Desember 2018.
Menurut Genoveva, makar merupakan delik yang sering digunakan untuk meredam gerakan-gerakan yang tidak sejalan dengan pemerintah. Penyebabnya, adalah simplifikasi kata "aanslag" dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan Belanda yang diterjemahkan menjadi makar dan dipakai hingga sekarang.
Padahal, menurut dia, terjemahan "aanslag" yang ada dalam KUHP lebih tepat diartikan sebagai serangan, ketimbang makar. "Jika dilihat yang dimaksud dengan anslaag, yang merupakan asal muasal pasal makar ini sebenarnya adalah penyerangan," ujar dia.
Jadi, Ia menuturkan untuk suatu perbuatan bisa dikatakan makar, memang harus benar-benar ada perbuatan menyerang yang membahayakan pemerintahan secara nyata. "Serangannya harus bersifat fisik, dalam kasus ini kan itu tidak terjadi," ujar dia.
Saat ini, Polisi telah membebaskan 233 mahasiswa tersebut. Polisi menegaskan mereka tidak pernah menangkap para mahasiswa Papua. Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur Komisaris Besar Frans Barung Mangera mengatakan polisi hanya mengamankan ratusan mahasiswa dan masyarakat tersebut.
"Kami sengaja membawa mereka karena massa yang ada di luar yang sudah terpancing, ada dari KPPI, Pemuda Pancasila, dan sebagainya," kata Frans Ahad, 2 Desember 2018.
Simak juga: Bantah Tangkap Ratusan Mahasiswa Papua, Polisi: Hanya Mengamankan
Frans mengatakan polisi mendapat informasi ada kelompok massa yang terprovokasi oleh unjuk rasa atau aksi oleh kelompok mahasiswa dan masyarakat Papua. Apalagi, mereka menyinggung soal Papua Merdeka.