Dia juga menjamin beban utang pada 2020 bakal mereda. Meski tak merinci, beban utang dua tahun ke depan disokong strategi Kementerian Keuangan yang mengatur tenor utang, yang rata-rata sembilan tahun, agar jatuh temponya tak berbarengan. Selain itu, beban utang bisa terjaga karena penerbitan surat utang berdenominisasi rupiah makin banyak.
Schneider mengatakan, saat ini, porsi rupiah dalam surat utang negara, yang berjumlah Rp 3.467,5 triliun pada Juli 2018, mencapai 62,1 persen atau senilai Rp 2.55,8 triliun. Selain itu, ada tambahan Rp 518,6 triliun dari produk sukuk negara bernilai rupiah. “Penerimaan negara tahun depan sudah Rp 2 ribu triliun, belum lagi penerimaan bukan pajak dari ekspor dan layanan pemerintah yang meningkat,” ucapnya.
Meski beban pinjaman masih menumpuk, pemerintah tak bisa berkelit dari jeratan utang. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut utang tetap dilakukan untuk menambal defisit anggaran.
Saat ini, tak ada strategi untuk menutup utang yang jatuh tempo pada tahun ini dan tahun depan selain melakukan refinancing dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN) baru dengan tenor yang lebih panjang. Namun, kata Bhima, pemerintah harus menanggung beban bunga SBN yang tinggi karena Bank Sentral Amerika Serikat diperkirakan juga akan menaikkan suku bunga.
Dia memproyeksikan total utang pemerintah hingga akhir 2019 bisa mencapai Rp 4.685 triliun atau naik 8,3 persen. Pengurangan utang agaknya sulit dilakukan, terlebih bila penerimaan pajak mengalami shortfall.
Baca: Siapkan Strategi Pembiayaan Utang 2019, Kemenkeu Amati Pasar Uang
Tantangan lain yang dihadapi pemerintah, Bhima melanjutkan, adalah tidak sejalannya pertumbuhan utang dengan pertumbuhan ekonomi, yang hanya ditargetkan 5,3 persen. Apabila pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto, berarti utang masih belum dikelola secara produktif. "Jadi di 2019 tantangan utang sekali lagi makin berat," tuturnya.
CAESAR AKBAR | CHITRA PARAMAESTI