Lembaga Indo Survey dan Strategy (ISS) pernah menggelar sigi di Jawa Barat pada November 2017, di Banten pada Agustus 2017, kemudian di Nusa Tenggara Barat pada September 2017. Survei dengan metode acak berjenjang (multiple random sampling) ini dilakukan untuk mengukur kecenderungan pemilih terhadap isu sara.
Hasilnya, "Pemilih Indonesia cenderung menentukan pilihannya berdasarkan kesamaan, baik agama, suku, maupun rasnya," kata Direktur ISS Kayono Wibowo, Selasa, 13 Maret 2018. “Isu SARA dan komunis memang menjadi bahan pertimbangan masyarakat dalam menentukan pilihan.”
Simak: Mengapa Politik Identitas Marak di Pemilu? Ini Kata Survei...
Sebanyak 85,3 persen responden di Jawa Barat menyatakan kesamaan agama sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat. Yang tidak terpengaruh sebanyak 12,8 persen responden dan 2,0 persen menjawab tidak tahu.
Sedangkan untuk isu komunis 86,8 persen responden tidak akan memilih pasangan yang menganut paham komunis, 5,1 persen akan mempertimbangkan, dan 0,8 persen tidak menentukan pilihan. "Karakter pemilih Indonesia itu ada kecenderungan kuat terhadap politik identitas," kata Kayono.
Sebanyak 62,33 persen responden di NTB tidak akan memilih pasangan calon yang menganut paham komunis, 0,17 pasti akan memilih, 3 persen akan mempertimbangkan, 34,5 tidak tahu. Untuk isu agama, 90 persen menghendaki adanya kesamaan keyakinan, 8,5 persen tidak tahu, dan 2 persen tidak terpengaruh.
Simak juga: Buya Syafii Tepis Isu Jokowi Kafir
Survei di empat kota/kabupaten di Banten juga menunjukkan responden cenderung tidak mau memilih jika pasangan calon dalam pemilu menganut paham komunis. Mereka yang menolak berkisar 59-71 persen responden di empat wilayah itu. "Begitu juga dengan isu agama, seperti paham Syiah," kata Kayono.
Namun, dengan memilih Ma'ruf Amin, Andreas membaca saat ini kritik terhadap Jokowi sudah mulai bergeser ke isu-isu ekonomi. "Kubu lawan sudah mulai menyerang dengan menyinggung soal janji-janji Jokowi yang belum terpenuhi," kata Andreas.
Menurut Andreas, langkah tersebut justru lebih sehat ketimbang menggunakan politik identitas. Posisi koalisi Jokowi, kata dia, adalah defensif (bertahan) dalam menjawab kritik kubu Prabowo Subianto. Jika kritik itu bisa dijawab dengan baik, jawaban tersebut bisa menjadi serangan balik yang baik terhadap Prabowo.
Baca juga: Antisipasi Ditinggal Pemilih, Jokowi - Ma'ruf Lakukan Cara Ini
Andreas melihat pilihan Jokowi terhadap Ma'ruf Amin sudah tepat. Jokowi, kata dia, tidak memiliki beban menghadapi persoalan agama dan politik identitas. Pasalnya, kehadiran Ma'ruf dapat menjawab pertanyaan tersebut yang berkembang di kelompok tradisional kultural.
Kubu Gerindra berpendapat politik identitas justru mencuat setelah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kenapa?